KREASI SANTRI RIBATH DH ISLAM LIBERAL: KONSEPSI, AKTUALISASI, DAN TANGGAPANNYA (3)

Isu-isu Sentral Program Islam Liberal

Dalam disertasinya di Monash University, Australia, Dr. Greg Barton, memberikan sejumlah  program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen  terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.
Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan program yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia. Penyebaran paham Pluralisme  Agama –yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena membenarkan semua tindakan  syirik– dilakukan dengan cara yang sangat massif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa.

Pluralisme Agama yang Berbahaya

Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham  ini, pada dasarnya  menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju  Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan  yang mutlak, sehingga –karena kerelativannya– maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu  ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.
Ulil Abshar Abdalla mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran.  Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah  benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan  religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan  menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas,  18-11-2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”)
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat  diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif  dalam melihat Agama lain (Agama-agama lain adalah jalan  yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-Agama lain adalah  bentuk  implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis –yang bisa terekspresi dalam macam-macam  rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai  Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan  Kebenaran-kebenaran  yang  sama  sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”. (lihat buku Tiga Agama Satu Tuhan, Bandung: Mizan, 1999, hal.xix)
Penyamaan antara Islam dengan agama-agama lain jelas sangat keliru dan bertentangan dengan Al Quran Hadits. Banyak sekali ayat-ayat al Quran yang menegaskan perbedaan yang tajam antara orang yang beriman dan beramal saleh, dengan orang-orang kafir. Allah Ta’ala hanya mengakui Islam sebagai agama yang benar dan diterima. Allah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS. Ali ‘Imran:19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran:85)
Surat al Fatihah juga mengajarkan akar kaum muslimin senantiasa berdoa supaya berada di jalan yang lurus (al shirath al mustaqim) dan bukan berada di jalan orang kafir yang dimurkai (al maghdlub ‘alaihim) dan tersesat (al dlaallin).
Andai saja Islam menerima kebenaran dan keselematan agama lain, maka apa gunanya Rasulullah berjuang dan berdakwah kepada bangsa Arab untuk memeluk ajaran Islam selama 23 tahun umur beliau? Apa gunanya pula beliau mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non muslim seperti Kaisar Heraklitus dan raja Najasyi yang beragama Nasrani, dan Kisra Persia yang beragama Majusi?
Tidak jarang pula dalam melegitimasi teologi inklusif-pluralis kalangan liberal mencari justifikasi dari ayat-ayat Al Qoran yang ditafsiri sesuai kehendak mereka sendiri atau mengutip tafsir-tafsir yang ada dengan tidak lengkap.
Dr. Abd Moqsith, menulis dalam disertasinya di UIN Jakarta:  
”Jika diperhatikan dengan seksama, maka jelas bahwa dalam ayat itu [QS 2 :62] tak ada  ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada  Nabi  Muhammad. Dengan mengikuti bunyi harfiah ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dalam keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah yang beriman kepada  Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal shaleh –sekalipun tak beriman kepada Nabi  Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para  mufasir dan bukan ungkapan al-Qur’an. Muhammad Rasyid Ridla berkata, tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi Muhammad.” 
Kesimpulan disertasi seperti itu sangat aneh. Apalagi, kalangan liberal sering sekali mengutip  pendapat Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar.  Padahal, jika ditelaah dengan seksama pendapat Rasyid  Ridla dalam Tafsir al-Manar, maka akan ditemukan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan  keselamatan Ahlul Kitab yang risalah Nabi Muhammad saw tidak sampai kepada mereka. Karena itu, mereka tidak diwajibkan beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan bagi Ahlul Kitab yang  dakwah Islam sampai kepada mereka, menurut Rasyid Ridla, maka QS 3:199, ada lima syarat untuk keselamatan mereka. Diantaranya, (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk  melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. 
Karena itu, sangat disayangkan, sebagaimana perilaku sejumlah kaum Pluralis Agama, penulis  disertasi ini pun tidak benar dan tidak fair dalam mengutip pendapat-pendapat Rasyid Ridla. Padahal, dalam soal ini, Nabi Muhammad saw sudah menegaskan: 
”Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seorangpun dari ummat sekarang ini, baik Yahud, maupun Nasrani, kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.” (HR Muslim).
Dalam bukunya berjudul Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (hal. 108-109), Alwi Shihab menulis:
“Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenaik pluralisme keagamaan dan menolak eksklusifisme. Dalam pengertian lain, eksklusifisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab, Al Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya. Prinsip ini digariskan oleh dua ayat Al Quran, sebuah ekposisi yang jarang sekali terjadi sebuah ayat tampil dua kali dan hamper mirip kata per kata, yang menyatakan, “Sesungguhnya mereka telah beriman, Yahudi, Kristen, dan Shabi-in. Mereka yang percaya kepada Tuhan dan Hari Akhir dan berbuat saleh, akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Mereka tidak akan merugi dan dan tidak akan berduka cita. (al Baqarah:62 dan al Maa’idah:69)
Pendapat “luar biasa berani” ini dikuatkan oleh KH Said Aqil Sirajd tentang persamaan konsepsi Tauhid antara Islam, Kristen, dan Yahudi:
“Agama yang membawa misi Tauhid adalah Yahudi, Nasrani (Kristen), dan Islam. Agama yahudi diturunkan melalui Musa, Nasrani diturunkan melalui Isa (Yesus), dan Islam melalui Muhammad. Kedekatan ketiga agama samawi yang sampai saat ini masih dianut oleh umat manusia itu semakin tampak jika dilihat dari genealogi ketiga utusan (Musa, ‘Isa, dan Muhammad) yang bertemu pada Ibrahim (Abraham).” (Bambang Noorsena, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, hal. 165-169)
Sekali lagi, pendapat yang menyamakan antara Islam, Yahudi, dan Kristen sangat bertentangan dengan Al Quran. Meski ketiganya pernah bertemu dalam satu ajaran Tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as, namun Al Quran telah menjelaskan bahwa ajaran Yahudi dan Kristen sekarang telah dirubah. (QS. 4:46) Allah telah mengecap kafir Yahudi yang menganggap Uzair adalah anak Allah dan Nasrani yang menganggap ‘Isa adalah anak-Nya. (QS. 9:30)
Sungguh sangat mengherankan, bahwa kalangan Islam Liberal begitu gencar menyuarakan dan memasarkan paham pluralisme agama kepada masyarakat melalui jalur politik, media massa, dan pendidikan, seakan kaum muslimin memiliki kebutuhan mendesak untuk menerima paham tersebut. Biasanya mereka beralasan dengan maraknya berbagai kerusuhan dan tindakan anarkis di masyarakat yang didorong karena konflik umat seagama atau antar umat beda agama. Mereka menganggap bahwa pemahaman agama yang eksklusif dapat memicu pertikaian dan membangkitkan radikalisme.
Jurnal Tashwirul  Afkar edisi No 11 tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Di tulis dalam Jurnal ini:
“Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep  iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh  terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar  umat  Islam tidak  lagi  menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara  pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi  eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.”
Di Jurnal ini juga, Rektor UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah menulis:
“Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri  menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib,  penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal  demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau  kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah “lawan” secara aqidah.”
Jadi, menurut pengasong paham pluralisme agama, seseorang yang menganggap keyakinannya saja yang benar dianggap ‘radikal’, ‘tidak toleran’, dan menimbulkan ‘kekerasan’. Asumsi tersebut jelas keliru. Sebab, keyakinan setiap umat beragama pada agamanya masing-masing –disertai dengan  keyakinan bahwa agama lain adalah salah– adalah  faktor  yang  sah-sah  saja  dalam  soal  keyakinan.  Keyakinan eksklusif bukanlah pemicu konflik antar-umat beragama. Toh, apabila berpegang teguh dengan ajaran agama dianggap ‘radikal’, maka hal tersebut tetap harus dilakukan karena merupakan kewajiban dan konsekuensi setiap pemeluk agama.
Asumsi bahwa eksklusifitas Islam tidak toleran juga tidak sesuai fakta sejarah. Dalam perjalanannya, Islam sejak kelahirannya telah menunjukkan toleransi yang begitu baik dengan pemeluk agama lain, tapi harus mengorbankan iman dan takwanya.
Nabi Muhammad telah memberi contoh toleransi beragama dengan mengeluarkan Piagam Madinah. Berdasarkan teks Piagam Madinah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dalam al Sirah al Nabawiyyah, Nabi menyatakan, “Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat bersama kaum Mukmin”.  Beliau juga menyatakan, “Kaum Yahudi menjalankan agamanya sendiri, sebagaimana kaum Muslim juga menjalankan agamanya sendiri. Ini berlaku bagi orang-orang yang terikat hubungan dengan Yahudi dan diri Yahudi sendiri.”
Dengan adanya jaminan konstitusional terhadap kebebasan beragama ini, kaum Yahudi di Madinah dapat menjalankan kegiatan keagamaan dengan tenang di lingkungannya. Begitu juga dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah agama Yahudi yang disebut bayt al midras beraktifitas lebih giat dari sebelumnya. Dalam hal keamanan, kaum Muslim dan Yahudi saling bahu membahu mempertahankan Madinah dari serangah pihak luar. Dalam muamalat, jual beli dan pelbagai bentuk transaksi lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, kaum muslim juga dibolehkan melakukannya dengan Yahudi. Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah, sebagian persiapan walimahnya ditangani oleh seorang dari Bani Qainuqa’. (Shahih Muslim, no. 5242) Rasulullah sendiri pernah menjual pohon kurma dari Bani Nadhir (Shahih Bukhari, no. 4938)
Pada waktu Umar memasuki Yerussalem ia menandatangai perjanjian. Diantara isinya:”…gereja tidak akan dirubah menjadi tempat kediaman, tidak akan dirusak, ….salib-salib atau harta mereka tidak akan diganggu…dan tidak seorangpun diantara mereka akan dianiaya”. Orang tidak pernah konflik dengan umat Kristen.
Abdul Aziz Marwan Gubernur Mesir memberi izin orang-orang Kristen pegawai istana untuk mendirikan gereja di Halwan. Di Andalus Islam, Kristen dan Yahudi hidup damai bertahun-tahun. Seorang specialist sastra Iberia di Universitas Yale, Maria Rosa Mencoal dalam karyanya berjudul The Ornament of the World (2003) berterus terang. Ia menulis “Toleransi merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus dan nasib non-Muslim lebih baik daripada dibawah Kristen Eropah”.
Maka, Islam jelas menolak pluralisme. Namun, meskipun Islam tidak mengandung ajaran yang pluralistis namun Islam adalah agama yang memiliki toleransi tinggi. Ayat-ayat Ali ‘Imran:20 dan al Kaafirun:2-6 menunjukkan bahwa Islam adalah eksklusif tapi tidak memaksa manusia untuk mengikutinya. Demikianlah Islam diturunkan sebagai ajaran yang menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Tinggalkan komentar