MAU’IZHAH KH. MUHAMMAD NAJIH MAIMOEN PADA PERINGATAN HUT KEMERDEKAAN RI KE-77 17 AGUSTUS TAHUN 2022

Pada hari Selasa malam Rabu tanggal 19 Muharram 1444 H/16 Agustus 2022 M kemarin Syaikhina Muhammad Najih Maimoen memberi Mau’izhah Hasanah di hadapan para santri pada malam Peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 di Pondok Pesantren Al-Anwar. Dalam kesempatan tersebut Abah Najih banyak membahas tentang makna kemerdekaan Indonesia sebagai anugerah dari Allah Ta’ala yang harus disyukuri dengan cara melakukan amalan yang baik dan meninggalkan tradisi yang buruk mulai dari diri kita sendiri. Berikut kutipan mau’izhah beliau yang ditayangkan pada akun Youtube resmi PP Al-Anwar dan Ribath Darusshohihain:

Kemerdekaan sebagai Anugerah Allah kepada Umat Islam

“Bertepatan dengan menjelang imtihan (ujian) pertama di MGS, AlhamduliLlah kita bisa bertemu disini dalam Peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-77. Ayah dan Mbah paling senang dengan angka 7, semoga dengan angka 7 ini kita mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Amin. Tapi kalau kita ke Al-Quran pintu surga itu ada 8, kalau pintu neraka itu ada 7. WaLlahu A’lam.

Walhasil kita bersyukur kepada Allah atas kemerdekaan Indonesia karena dengan kemerdekaan kita dilepaskan oleh Allah dari kekuasaan Belanda dan Jepang. Dengan Perang Dunia ke-2 Jepang menyerang Amerika dan Sekutu bahkan menguasai Asia, ini merupakan satu mukadimah dari perubahan dunia. Akan tetapi Amerika mengebom Hiroshima dan Nagasaki itu bagaimana hukumnya genosida itu? Termasuk pelanggaran HAM atau tidak? Namun yang penting dengan adanya bom atom itu kita AlhamduliLlah bisa merdeka.

“Ndelalah meneh seingat saya konon dalam sejarah diterangkan bahwa Jepang dikehendaki Allah untuk memberi kesempatan merdeka kepada bangsa kita bahkan mendidik anak-anak muda kita supaya siap perang sampai kaum santri pun ikut dalam pendidikan perang tersebut lalu ada istilah laskar Hizbullah, Sabilillah, dst. Mbah Zubair sendiri punya pasukan Hizbullah yang membawahi 100 tentara dari daerah sekitar Rembang sampai Bojonegoro. Ini pengaturan Allah Ta’ala, luar biasa.”

Jadi kemerdekaan Indonesia sudah ditata oleh Allah untuk rahmat kepada kita umat Islam khususnya. Kok bisa sampai merdeka, padahal Jepang jahatnya bukan main tapi bisa baik dengan kita dan baik dengan kiai. Namun dulu kadang-kadang kaum santri disuruh melakukan seikerei atau menyembah Dewa Matahari. Mungkin saja hatinya berkilah, artinya tetap tidak ridha dengan hal tersebut dan hanya terpaksa.

Saudara-saudara sekalian. Kemerdekaan ini adalah nikmat yang sangat besar, walaupun kemerdekaan kita belum sempurna bahkan mungkin sampai sekarang. Hukum-hukum Belanda masih banyak bahkan ekonomi kita sekarang dijajah dan diatur-atur, namun AlhamduliLlah umat Islam walaupun tidak mulus urusan dunianya dengan banyak mendapatkan kezaliman dan seterusnya tapi kita tetap bisa shalat, zakat, puasa, dan lain-lain dan kita tetap mayoritas. Kita tetap tidak bisa dijadikan minoritas. Cuma yang jadi masalah masih banyak aliran-aliran sempalan walaupun kita Ahlussunnah menjadi mayoritas, bahkan kita yang mayoritas sendiri diajak untuk liberal seperti jaga gereja, ikut natalan, dan sebagainya. InnaliLlahi wa inna ilaiHi raji’un. Walhasil, kita husnuzzhan hati mereka kaum liberal tetap Islam dan mereka bertindak begitu untuk mencari uang. Tetapi menurut saya hal ini tetapi salah. Mencari uang kok pakai syirik? Ini bagaimana cari uang kok begitu caranya? Kenapa tidak bekerja, punya toko, sawah, menjadi kuli, jualan bakso, dan lain-lain seperti kebanyakan wali santri Pondok Al-Anwar? Sampeyan 95 persen itu dikirim uang oleh orang tua apa jam’iyyah? Orang tua digaji oleh jam’iyyah apa bekerja sendiri? Jadi urusan makan sampeyan lihat sendiri yang memberi makan itu Allah sebab bekerja itu anugerah dari Allah. Kita yang kaum kiai yang mengaku tidak bekerja ternyata tetap bekerja, bahkan kadang senang mengajar yang ada gajinya. Walaupun bisa dikilah tidak niat mencari gajinya namun niat mengajar, namun kenyataannya sekarang banyak yang suka mendapat gaji tetap. Buktinya senang mendapat gelar S1 atau S2.

Lha sekarang di Al-Anwar ada Ma’had Aly saya tetep pesen jangan niat untuk bekerja tapi niat mengajar. Sekarang mengajar di sekolah kalau tidak punya gelar katanya tidak bisa. Itu sebenarnya teror, padahal ini ilmu agama. Masa’ diukur dengan titel? Gelar itu kan untuk ilmu umum. Imam Nawawi tidak punya gelar tapi bisa menulis karangan yang besar-besar.”

“Mari Tinggalkan Tradisi yang Buruk!”

“Santri-santri yang saya cintai. AlhamduliLlah akan ada ikhtibar di MGS, tolong belajar yang rajin dan jangan sampe adat-adat yang buruk diteruskan. Kita katanya merdeka tapi masih jadi budak macam-macam. Budak organisasi, budak dunia, budak materi, dst. Penyakit santri dan kita semua ini adalah tradisi buruk pada diri kita susah dirubah khususnya menyontek. Jadilah orang yang idealis dan merdeka. Tidak menyontek dan tidak dicontek. Yang ruwet itu kalau tidak pernah belajar dan hadir di sekolah, namun ketika ikhtibar baru muncul. Inna liLlahi wa inna ilaiHi raji’un. Ini apa-apaan? Sekolah mana saja tidak ada yang begitu, lalu apa kata dunia? Atau dibuatkan sistim mengaji saja? tapi kita ini sekolah, hatta mengaji itu tidak begitu caranya. Walhasil tradisi yang buruk ini dihilangkan dan peganglah prinsip:

لَسْنَا وَإِنْ أَحْسَابُنَا كَرُمَتْ … يَوْمًا عَلَى الْأَحْسَابِ نَتَّكِلُ
نَبْنِيْ كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا … تَبْنِيْ وَنَفْعَلُ مِثْلَمَا فَعَلُوْا

Walhasil kalau mbah-mbah kita baik maka kita tinggal meneruskan, dan kalau mbah-mbah kita tidak mulia maka kita bangun kemuliaan itu pada diri kita. Mbah-mbah kita rajin mengaji maka kita meneruskan, dan kalau tidak maka kita yang memulai.

Memulai itu yang serius. Kalau ada orang buruk jangan dilihat apalagi ditiru. Laporkan saja ke ustadznya. Kalau nanti takut dipukul, ya dilaporkan lagi ke wali kelasnya. Kemarin ada ustadz baru yang menggantikan guru mengajar di kelas dan baca kitabnya salah-salah, terus ada murid pintar menghampiri ustadz ini dengan membawa sisa minumnya sambil berkata, “Ini sisa minumku minum Pak biar pinter.” Ini apa murid kok seperti itu? Kok tidak memaklumi ini ustadz baru? Mbuh santri darimana itu, malah bersikap memalukan.


Saudara-saudara sekalian. Saya pesan tradisi-tradisi yang buruk ini dibuang. Satu penyakit kita lagi adalah bangkong, suka tidur. Ini harus dihilangkan. Fahisyah dan maksiat dihilangkan. Mari kita bangun kemuliaan bagi kita sendiri, semoga bisa nular ke anak cucu dan murid-murid. Allahumma Amin.”

Bertahan dengan Ahlussunnah dan Pesantren

“Tadi Kiai Rouf berdoa agar pondok ini tetap seperti ini dan saya ikut bahagia, artinya pertahankan pendidikan kita ini yang asasnya kitab-kitab ulama berbahasa Arab dengan diberi makna Jawa dan keterangan berbahasa Indonesia sekadarnya. Ini penting sebab kemerdekaan itu adalah bukan milik satu kelompok. Bukan milik nasionalis saja tapi juga milik kaum agamis. Didalam BPUPKI ada unsur agamis, nasionalis, dst. AlhamduliLlah tanggal 17 masih ada 7 Kalimat yaitu Ketuhanan dengan Kewajiban Mengamalkan Syariat Islam bagi Pemeluknya, namun tanggal 18 sudah dihapus kemudian diganti Ketuhanan Yang Maha Esa. Dulu saya dengar ide ini dari Mr. Moehammad Roem, ada juga yang mengatakan ini dari Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Pancasila sudah ada mulai zaman kuno yaitu zaman Majapahit. Kadang-kadang dinamai Pancadharma sama halnya dengan Moh Limo (Molimo) yaitu dilarang Madon, Mendem, Maling, Main, Madat (main perempuan, mabuk, mencuri, judi, narkoba). Lima perintah ini dihidupkan lagi oleh Sunan Ampel. Di zaman sebelum Sunan Ampel sebenarnya sudah ada dan telah jadi perekat dan pemersatu bangsa Indonesia, tapi kemudian di zaman modern saat persiapan kmerdekaan isinya diganti macam-macam. Pada tanggal 1 Juni 1945 yang dijadikan Hari Kelahiran Pancasila itu Soekarno menetapkan ketuhanan di paling belakang yaitu sila kelima, namun setelah digodok oleh BPUPKI kemudian dipindah di nomor satu, AlhamduliLlah.

Pokoknya di tanggal 18 Agustus Tujuh Kalimat dalam sila pertama itu dihapus dan kita yang kelompok Masyumi banyak yang kecewa, tapi AlhamduliLlah dihibur dengan diganti kalimatnya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mari kita pertahankan ini. Kita membela negara Indonesia artinya membela Tauhid. Kita niati begitu aja. Kita kaum santri ini juga punya keistimewaan tidak hanya meyakini Laa Ilaha illaLlahu (Tiada Tuhan selain Allah) tapi juga Muhammadun Rasulullah (Muhammad adalah utusan Allah), dengan Sifat-sifat Allah Yang Maha Sempurna dan sifat-sifat kemanusiaan Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama yang sempurna. Kita Ahlussunnah punya kepercayaan ini sedangkan yang lainnya tidak punya. Kita punya keyakinan atas sifat-sifat Wajib, Muhal, dan Jaiz. Bukan hanya sifat “Yg Maha Esa” tapi juga sifat-sifat lainnya seperti Wujud Qidam Baqa’ dst. Kalau di Pancasila hanya Wahdaniyah saja, itupun tidak dipraktikkan dan hanya simbol saja. Praktiknya mengizinkan agama-agama syirik berjalan di Indonesia. Kita sebagai santri bagaimana menyikapinya, padahal ini sudah kesepakatan negara kita? Negara ini adalah negara kebangsaan. Maka terpaksa kita terima ini meski hati kita tidak membenarkan secara agama tapi mungkin benar secara politik atau secara darurat, atau hanya mungkin bisa dibenarkan secara kasuistik. Kejadiannya begitu dan tidak bisa dielakkan. Kemerdekaan Indonesia milik orang banyak dan semua ingin mendapat jatah dan diakui.

Kematian Sayyidina Husain karena Ulah Syi’ah

Jadi kita ini punya agama dan keyakinan. Tadi disinggung ada aliran Syi’ah. Pada bulan Muharram ini biasanya mereka membuat peringatan terbunuhnya Sayyidina Husain dan mereka ingin menghidupkan peringatan tersebut. Akan tetapi kalau di Iran peringatan Karbala ini dilakukan dengan memukul-mukul badan.

Kita harus mengerti bahwa yang membuat gara-gara terbunuhnya Sayyidina Husain itu adalah Syi’ah sendiri. Sayyidina Husain sudah nyaman berada di Makkah saat utusan khalifah Yazid bin Muawiyah datang ke Madinah untuk memaksa orang Madinah berbaiat kepadanya. Sebelumnya Husain sudah pindah ke Makkah. Akan tetapi orang-orang Syi’ah Kufah terus-menerus mengirim surat kepada beliau agar mau menghadap kepada Yazid dan diangkat menjadi raja mereka. Mungkin orang Syi’ah Kufah ada yang bisa dukun atau pelet sehingga Sayyidina Husain bisa tertarik, padahal yang menasihati beliau banyak sekali agar tidak mengiyakan hasutan Syi’ah tersebut mulai dari Ibn Abbas, Ibn Umar, dst. Mereka mengingatkan bahwa ayah beliau dulu Sayyidina Ali sudah pernah tertipu dengan Syi’ah, dan mereka sebenarnya tidak mau membela Sayyidina Ali dan hanyak mengaku senang saja. Lalu mengapa Sayyidina Husain masih kesana? WaLlahu A’lam ini ada apa. Kita orang Jawa biasa di kanan kiri kita ada pelet. Apa di Kufah ada begitu juga? WaLlahu A’lam, itu sudah takdir Allah. Akhirnya Sayyidina Husain ke Kufah, namun sebelumnya beliau mengirim sepupunya Muslim bin Aqil lalu dibunuh oleh tentara Ubaidillah bin Ziyad. Sayyidina Husain lalu kesana sementara beliau belum tahu kalau utusan beliau sudah dibunuh. Aneh jika beliau sampai tidak tahu kabar tersebut. Akhirnya beliau dihadang banyak pasukan yang konon sampai ribuan, sedangkan beliau hanya bersama puluhan tentara. Itulah nasib seperti yang disampaikan dalam kitab al-Minah al-Makkiyyah bahwa Ahlul Bait dibuat begitu untuk meninggikan derajat mereka. Seumpama mereka ditakdirkan mulus khilafahnya dalam arti setelah Sayyidina Ali lalu diteruskan Sayyidina Hasan tanpa ada pengganggu lalu diteruskan Sayyidina Husain, mungkin mereka tidak ada yang mati syahid. ‘Ala kulli hal kita harus ridha dengan Qadla dan Qadar. Ini ada prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah.

Sekarang di Youtube banyak channel yang sengaja membuat orang ragu-ragu. Kalau enam bulan kemarin isinya menjelek-jelekkan Islam seperti Syakur apalagi Muwafiq yang mengatakan Nabi Muhammad “rembes”, sekarang gerakan di Youtube adalah gerakan meragukan (tasykik). Ahlussunnah diragukan, mungkin Syi’ah yang benar. Sudah enak jadi orang Islam, tapi saat membahas Islam berkata mungkin Hindu Budha benar. Na’udzubilLah min dzalika. Sebabnya memang ada gerakan pluralisme, dan kalau sudah berpaham pluralisme itu pasti ragu.

Mari kita ditata, apalagi kita kaum santri yang biasa mengaji kitab dan mengaji ajaran Aswaja. Jika sekarang kadang-kadang kita ada pelajaran umumnya maka harus ditata. Pengetahuan agama itu untuk menenangkan hati, sedangkan pengetahuan dunia itu agar bisa bicara dengan orang sekarang. Lakukanlah prinsip:

عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ يَكُوْنَ عَالِمًا بِأَهْلِ زَمَانِهِ، مَالِكًا لِلِسَانِهِ، مُقْبِلًا عَلَى شَأْنِهِ
Zaman yang banyak pengetahuan umumnya seperti ini harus bisa membicarakannya sedikit-sedikit supaya tidak kelihatan seperti orang dungu. Mengerti itu tidak mesti membenarkan. Memahami masalah bukan berarti membenarkan.

Saya ulangi lagi. Mari kita bersyukur bahwa kemerdekaan adalah anugerah dari Allah Ta’ala. Kita harus ingat bahwa negara kita adalah yang pertama kali di dunia saat itu yang memproklamasikan kemerdekaan. Sebelum Indonesia banyak negara yang ingin merdeka, tapi yang berani mempelopori adalah Indonesia. Adapun kenapa Indonesia paling lama dijajah karena penjajah pertama kali datang kesini, diajari oleh Illuminati. Indonesia sudah diincar dari dulu karena kaya raya. Orang Barat tahu itu seperti Portugis, Spanyol, bahkan Jepang. Yang dijajah hingga keterlaluan adalah kita. Cina dulu saja begitu, sampai ada utusan Cina yang sampai di Singosari lalu dipotong kupingnya oleh Jayakatwang. Kita ini negara yang masyhur, gemah ripah loh jinawe. Apalagi Sumatra dahulu banyak emasnya. Dahulu banyak emas dari Sumatra dipersembahkan ke Negara Islam, bahkan katanya ke Fir’aun. WaLlahu A’lam. Sekarang emas yang banyak berada di Papua yang sudah dikuasai negara Paman Sam. Semoga hak-hak kita ini dikembalikan oleh Allah kepada kita, Amin. Kita berdoa juga yang menggondol uang rakyat kemarin (Apeng) semoga uangnya cepat dikembalikan Allah Ta’ala untuk kesejahteraan Islam dan untuk ibadah. Tidak hanya membayangkan wanita saja. Belum tentu bisa bertanggung jawab, apalagi cari yang cantik. Dilupakan mksudnya. Umpamane melamun ya bayangkan saja semoga uang negara balik, syukur umpama sampeyan punya khodam yang bisa balikin uang tersebut lagi. Melamun kok yang tidak-tidak, malamnya tidak bisa tidur dan akhirnya bangkong (kesiangan).

Saya benar-benar berpesan, mari kita perbaiki mulai dari diri kita. Kalau mbah-mbah kita bagus maka kita teruskan kebaikan mereka. Kalau bangsa dan pemerintahan kita belum bisa baik maka mulailah dari diri kita. Kalau kita berbuat baik dan berusaha iman dan taqwa kepada Allah maka lingkungan kita akan ditata oleh Allah supaya dilancarkan iman dan takwa kita.” (*)

Tinggalkan komentar