









PROBLEMATIKA ISLAM NUSANTARA;
Gerbong Baru Liberalisasi-Pluralisasi
بسم الله الرحمن الرحيم
الحَمْدُ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَْ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ ، وَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مَنْ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ، سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اتَّبَعَهُ .أّمَّا بَعْدَ.
Istilah Islam Nusantara beberapa waktu belakangan ini menjadi salah satu trending topic yang banyak dibicarakan oleh masyarakat. Setelah beberapa lama tidak lagi terlihat gaungnya di publik, istilah Islam Nusantara ini mencuat kembali setelah akhir-akhir ini ramai dikampanyekan lagi secara gencar oleh para pengusungnya.
Seperti dilansir http://www.bbc.com, dalam pembukaan acara Istighatsah menyambut Ramadhan dan pembukaan Munas Alim Ulama NU, Minggu 14 Juni 2015 silam, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan bahwa NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara. “Yang paling berkewajiban mengawal Islam Nusantara adalah NU,” kata Said Aqil. Pada acara tersebut, Presiden Joko Widodo juga menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara. “Islam kita adalah Islam Nusantara. Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama. Itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi,” kata Jokowi.
Tak lama kemudian, istilah Islam Indonesia pun diangkat menjadi tema utama dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang Jawa Timur pada tahun 2015 dengan tajuk “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia.” Namun di lain pihak, Islam Nusantara juga mengundang banyak sekali kritik dari berbagai kalangan. Banyak sekali kiai dan intelektual Islam yang menyatakan bahwa Islam Nusantara merupakan salah satu senjata baru kaum Liberal untuk memasarkan ide-ide liberalisme dan pluralisme di tengah-tengah masyarakat menggunakan istilah-istilah yang terlihat “toleran” dan “damai”.
Kenyataannya, dalam Muktamar Jombang terjadi kisruh, bahkan sampai adu jotos yang tidak pernah terjadi pada muktamar-muktamar sebelumnya. Bagaimana konsep ini yang katanya memberikan kedamaian untuk peradaban Indonesia dan Dunia, sementara di dalam tubuh NU saja sudah menimbulkan kisruh antar warga NU sendiri?!
Aroma Liberalisme-Pluralisme Islam Nusantara
Islam Nusantara sebenarnya gambaran Islam yang tidak perlu dipermasalahkan. Islam tahlilan, yasinan, ziarah kubur, tawassul, muludan dan lain sebagainya, inilah Islam Nusantara, sebuah tatanan yang sudah baku dan mengakar di tengah-tengah umat. Sebuah syari’at dan ajaran Islam yang dibawa para Walisongo untuk meng-Islamkan Nusantara.
Namun realita dan fakta di lapangan membuktikan sebaliknya, Islam Nusantara dibajak oleh kelompok Liberal untuk mengkampanyekan kebencian kepada arab. Di samping itu Islam Nusantara dijadikan kendaraan untuk melegitimasi ajaran-ajaran yang menyimpang, seperti Liberalisme, Pluralisme, Sekulerisme bahkan Komunisme.
Banyak tokoh IsNus menganggap ajaran Islam seperti cadar, jenggot hanya sebagai budaya arab, bahkan mereka menebar kebencian kepada para habaib. Ini bisa dibuktikan melalui video-video pernyataan nyeleneh para pengusung ide IsNus, seperti; Kyai Said Aqil Sirajd, Quraisy Shihab, Yahya Cholil Tsaquf, Ulil Abshar dan lain sebagainya. Islam Nusantara sebenarnya “wajah baru” dari proyek Liberalisasi Islam di Indonesia.
Melalui Islam Nusantara mereka mempromosikan Islam yang berkarakter Wasathiyyah atau moderasi Islam, Islam ramah dan toleran. Ada indikasi kuat bahwa itu hanya jargon belaka, karena yang dimaksud tawassuth atau moderasi Islam itu tidak ekstrem dan tidak liberal. Namun realitanya berbeda.
Dalam sebuah diskusi di Grup WA para pendukung IsNus mengatakan bahwa orang muslim menjaga Gereja saat Natalan itu boleh karena merupakan implementasi dari moderasi Islam. (Bukankah menjaga gereja itu sudah menjadi tugas aparat polisi atau TNI dalam hukum negara?! Lalu apa status Banser dalam negara ini?!). Masih menurut mereka, maraknya dangdutan dan orkesan merupakan hal yang biasa, bahkan sampai ada yang mengusulkan istilah “Dangdut Syar’i”. Padahal yang terjadi dalam pertunjukan dangdutan dan orkesan di sana ada penggunaan alatul malahi, ihthilat bainarrijal wannisa’, biduanita yang mengumbar aurat, pesta miras, narkoba dan sering terjadi tawuran, lebih-lebih ketika diadakan pada acara sedekah laut, sedekah bumi yang sebenarnya adalah proses ruwatan desa (tradisi lokal nusantara yang munkar karena identik dengan budaya syirik atau membuat sesajen). Pernyataan pendukung IsNus tersebut merupakan pendangkalan akidah, apalagi ini dilakukan oleh seorang tokoh, mestinya akan menjadi representasi dari Islam Nusantara yang dia promosikan.
Konsep Islam Wasathiyyah bisa menggelinding liar dan menimbulkan kerancuan pemahaman kalau dipisahkan dari keistimewaan-keistimewaan (Mumayyizat) Islam lainnya, seperti; Rabbaniyyah Ilahiyyah, Syumuliyyah, dan lainnya.
Saat ini beredar sebuah video pendek yang didalamnya mencatut nama Guru kami, As-Sayyid Muhammad Alawy al Maliky Rahimahullah terkait permasalahan Bank. Kami menyayangkan isi pernyataan dalam video tersebut, karena bisa memberi persepsi di masyarakat bahwa Guru kami menghalalkan Bank. Padahal sebaliknya, beliau dari masa mudanya mengharamkan Bank (bunga-bunganya). Lambat laun Guru kami seringkali mendapat kiriman dari ba’dlul aghniya’ berupa titipan harta zakat, sedekah untuk fuqara’ masakin atau berupa hadiah untuk pribadi beliau yang ditransfer lewat Bank. Karena kesibukan beliau, harta-harta tersebut kadang tidak langsung diambil sehingga ada bunga atas nama si pengirim atau dari awal memang sudah ada bunganya. Semua harta titipan ditasharrufkan sebagaimana mestinya. Selain hadiah khusus, harta diberikan kepada yang berhak setelah bunga dipisahkan lebih dahulu. Kemudian bunga Bank ditasharrufkan untuk selain urusan konsumsi, misalnya; ongkos pembayaran sedot Septy Tank, membeli bensin kendaraan, juga didonasikan untuk kepentingan-kepentingan umum, seperti; memasang batako jalan, membuat kamar mandi, WC, atau membayar pajak, melunasi hutang setelah si pemberi hutang rela dibayar dengan bunga Bank dan lain sebagainya. Karena Abuya Rahimahullah adalah sosok ulama ahli wira’i dan tawakkal, maka dari itu beliau tidak pernah punya rekening apalagi sampai menyimpan uang di Bank. Disamping itu beliau adalah sosok yang tangannya penuh barokah dan sangat dermawan, senang membagi-bagikan harta pribadinya dan ada sebagian yang beliau titipkan kepada aghniya’ (muslim Sunni Non-Wahabi) untuk dikelola kemudian hasilnya dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Setelah munculnya konsep Islam Nusantara pasca Muktamar NU ke-33 di Jombang tersebut, entah mengapa muncul pula berbagai pernyataan dan kegiatan nyeleneh yang kesemuanya dinisbatkan kepada konsep Islam Nusantara. Diantaranya yang paling terkenal adalah pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa yang booming di tengah-tengah masyarakat hingga pernah dipraktikkan di istana kepresidenan pada 15 Mei 2015 silam, kurang lebih dua bulan sebelum Muktamar Jombang. Menanggapi hal ini, Quraisy Shihab sebagai salah satu pengusung Islam Nusantara berkomentar, “Nah, bagaimana dengan langgam atau nadanya? Hemat penulis, tidak ada ketentuan yang baku. Karena itu, misalnya, kita biasa mendengar qari dari Mesir membaca dengan cara yang berbeda dengan nada dan langgam qari’ dari Saudi atau Sudan. Atas dasar itu, apalah salahnya jika qari dari Indonesia membacanya dengan langgam yang berbeda selama ketentuan tajwidnya telah terpenuhi?”
Lanjutnya, “Memang ada riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi SAW. yang menganjurkan agar al-Quran dibaca dengan langgam Arab. Konon beliau bersabda: Bacalah al-Quran dengan langgam Arab dan suara (cara pengucapan) mereka; jangan sekali-kali membacanya dengan langgam orang-orang fasiq dan dukun-dukun… Hadits tersebut kalaupun dinilai Shahih, maka itu bukan berarti bahwa langgam selain langgam Arab beliau larang.” (m.merdeka.com)
Tanggapan: Pernyataan Quraisy Shihab diatas perlu dianalisa dengan teliti.
Pertama, mengatakan bahwa tidak ada ketentuan baku dalam membaca Al-Quran adalah keliru. Rasulullah SAW melarang membaca Al-Qur’an dengan irama yang bisa mengubah panjang pendek huruf Al-Qur’an. Mengenai pembacaan Al-Qur’an dengan lagu yang tidak dikenal, irama atau cengkoknya yang melewati batas kebolehan, al Imam al Suyuthi dalam al Hawi Lil Fatawi Hal 241, Juz 1 beliau menghukumi haram kelas berat, seperti halnya pendapat Imam Nawawi dalam Kitab al Raudloh, Hal 227 Juz 11 dan Kitab al Tibyan, Hal 111 yang menyatakan hukum fasik bagi si pembaca.
Kedua, menggunakan langgam Jawa dalam Al-Quran merupakan Tasyabbuh dengan Ahlul Ahwa’ wal Fussaq. Jika al-Qur’an dibaca dengan langgam Jawa, tentu bacaan tersebut menyerupai ucapan dalang, sinden dan dukun kebatinan Jawa (kejawen) yang biasa menggunakan langgam jawa dalam tayub, sinden, pewayangan, dan paguyuban Jawa. Padahal Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan kaum tersebut”. (HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, Ahmad,dan Ibnu Hibban). Para ulama telah membahas tidak diperbolehkan menyerupai hal-hal yang sudah menjadi Syi’ar ahlul ahwa’ wal Fussaq. Lihat kitab Ihya’ Ulumuddin (juz 2 hlm. 305), Ithaf al-Saadah al-Muttaqin (Juz 7 hlm. 591-592) Fiqh al-Islam (Juz 5 hlm. 468) Is’ad al-Rafiq (Juz 2 hlm. 67). Maka keliru jika Quraisy Shihab mengatakan ulama tidak memberikan kaidah baku dalam membaca Al-Quran. Tidak hanya sekedar indah dan benar tajwidnya, namun juga harus mengikuti adab memuliakan Al-Quran.
Ketiga, langgam Jawa dalam membaca Al-Quran adalah tindakan tidak menghormati Al-Qur’an, karena diantara tata cara mengagungkannya adalah tidak membaca al-Qur’an dengan lagu-lagu orang fasiq. (lihat: Imam Al-Hakim At-Tirmidzi, Nawadir al-Ushul, juz 3 hlm. 255)
Keempat, mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa ada khilaf mengenai hukum langgam Jawa ini. Maka kami katakan bahwa tidak ada khilaf bagi kewajiban umat Islam untuk menghormati dan memuliakan Al-Quran, dan tidak ada khilaf pula keharaman melecehkan Al-Quran dengan berbagai cara. Selain itu, langgam Jawa ini adalah salah satu proyek liberalisasi Islam yang diusung oleh kaum liberal melalui jalur budaya untuk mengesankan bahwa Al-Quran saja bisa berakulturasi dengan budaya Jawa. Nanti ada pembacaan Al-Quran dengan langgam dangdut, pop, dan musik-musik lain seperti yang sedang mewabah pada pembacaan qasidah dan shalawatan akhir-akhir ini. Bahkan beberapa tahun terakhir ini sudah bertebaran peristiwa pembacaan Al-Quran dengan lagu gereja yang jelas-jelas melecehkan Islam. Na’udzubiLlahi min dzalika.(lihat:http://m.youtube.com/watch?CXetk4t_Ts0;http://m.youtube.com/watch?v=9XFHzbeLyjU; http://www.kabarmakkah.com/2015/01/video-nyata-satu-isi-gereja-baca-quran.html). Tentu sekarang Kaidah Dar’ul Mafasid Muqaddamun min Jalbil Mashalih sangat relevan diterapkan untuk menjaga akidah dan syari’at umat Islam agar tidak diobok-obok oleh musuh Islam.
Selanjutnya, di situs news.merahputih.com pada Rabu 8 Juli 2015 menurunkan berita berjudul Quraish Shihab Setuju Islam Nusantara. Dalam artikel tersebut Quraish Shihab mengatakan bahwa Islam Nusantara bukanlah agama yang baru. “Ini pemahaman ajaran agama yang dipengaruhi budaya.” Dia mengatakan, al-Qur’an harus dipahami sesuai dengan konteks budaya dan ilmu pengetahuan yang berkembang. Dia mencontohkan, kaum perempuan, baik dari Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama, pada zaman dahulu tidak memakai jilbab karena menganggap kebaya adalah pakaian terhormat. “Kemudian, bisa jadi di negeri-negeri yang airnya kurang ulama-ulamanya membolehkan bertayammum saja,” sambung mantan Menteri Agama ini.
Tanggapan: Dari keterangan diatas, terlihat sekali bahwa Quraish Shihab berupaya menginjeksikan pendapatnya tentang jilbab adalah budaya bukan kewajiban agama dalam menerangkan tentang Islam Nusantara. Dia mengatakan bahwa jilbab termasuk pemahaman ajaran agama yang dipengaruhi budaya, yang berarti penggunaan jilbab dipengaruhi oleh tradisi masyarakat yang dapat selalu berubah hukumnya.
Padahal, ayat al-Qur’an sendiri sudah secara tegas (Nash Sharih) menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka (lihat keterangan-keterangan ulama seperti Ibn Jauzy dalam al-Tashil li ‘Ulum al-Tanzil, Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur, Ibn Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Azhim, dan lain-lainnya). Tentu akan menjadi aneh jika Allah SWT membatasi aurat wanita kecuali muka dan telapak tangan, akan tetapi membolehkan kepala dan lekuk dadanya terbuka.
Kaum muslimin tentu masih belum lupa dengan pernyataan nyeleneh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj yang tak lain adalah penggagas ide Islam Nusantara, dalam cuplikan videonya yang beredar di Youtube, dia menyatakan, “Orang berjenggot itu mengurangi kecerdasan. Semakin panjang, semakin goblok!”
Tanggapan: Ketika Said Aqil dituntut ramai-ramai untuk mempertanggungjawabkan ucapannya, Said Aqil berdalil bahwa Said Aqil Siradj malah membela mati-matian pendapatnya tersebut dengan mengklaim bahwa pernyataannya didukung oleh kitab-kitab ulama salaf. Salah satu yang sering dia jadikan senjata andalan adalah keterangan Ibn al-Jauzi dalam Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin yang menyatakan bahwa termasuk ‘alamat al-humqi (tanda-tanda orang bodoh) adalah thul al-lihyah (berjenggot panjang). (Juz 1 hlm. 29)
Padahal jika kita koreksi dengan teliti, kitab Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin tidak sah dijadikan refrensi hukum dalam permasalahan memanjangkan jenggot, karena kitab tersebut bukan kitab fiqih, kitab tafsir atau kitab hadits. Tapi hanya kitab yang menerangkan dongeng-dongeng, cerita-cerita lucu dan anekdot. sebagai contoh saja coba lihat ibarat ini ;
قَالَ الإِمَامُ ابْنُ الجَوْزِي سَمِعَ بَعْضُ المُغَفَّلِيْنَ أَنَّ صَوْمَ يَوْمِ عَاشُورَاء يَعْدِلُ صَوْمَ سَنَةٍ فَصَامَ اِلَى الظُّهْرِ وَأَكَلَ وَقَالَ يَكْفِيْنِي سِتَّةُ أَشْهُرٍ (أخبار الحمقى والمغفلين – (1 / 169)
Imam Ibnul Jauzi :”Ada orang bodoh mendengar bahwa puasa pada hari Asyura pahalanya menyamai puasa satu tahun penuh. Kemudian di hari Asyura dia berpuasa sampai waktu dhuhur saja seraya berdalih: “Pahala 6 bulan sudah cukup bagiku”.
Apakah layak ibarat kayak begini dijadikan tendensi?! Mungkin bisa saja dibenarkan isi-isi ceritanya, namun dari sudut pandang agama hal itu tidak boleh dibuat dalil hukum. Dan lagi, salah satu pijakan kitab tersebut dalam menghujat panjangnya jenggot adalah Kitab Taurat, padahal sudah maklum keberadaan Taurat sudah muharraf (terdistorsi) sehingga tidak mu’tabar.
Andaikan yang dicela Ibnu al-Jauzi dalam kitab tersebut adalah jenggot yang terlalu panjang (melebihi satu qabdlah) mungkin dapat dibenarkan menurut tinjauan fiqh, karena memang dalam permasalahan ini ada perkhilafan ulama. Sebab ada sebagian dari mereka yang berpendapat salah satu bentuk jenggot yang makruh adalah melebihi kadar satu qabdlah (panjang dan lebar satu genggaman). (Lihat: Al-Mulla Ali al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, juz 13 hlm. 162; Alauddin al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Afal, juz 6 hlm. 652; al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi, juz 8 hlm. 38). Akan tetapi dalam perspektif Aqidah Islamiyah, melecehkan jenggot panjang secara mutlak itu tidak benarkan, baik kadar panjangnya kurang dari satu qabdlah atau bahkan melebihi. Karena kitab-kitab Hadits dan Syamail menjelaskan bahwa Rasulullah SAW dan para shahabatnya berjenggot panjang atau Thawilul Lihyah (Qadli Iyadl, al-Syifa, Juz 1 hlm. 60; al-Tirmidzi, al-Syamail, Juz 1 hlm. 352; al-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir; Syu’ab al-Iman). Tapi tentunya tidak berlebihan seperti jenggot orang Salafi-Wahabi yang terlalu besar dan panjang.
Pernyataan Said Aqil Siradj sama sekali tidak bisa dibenarkan, karena ia secara tegas merendahkan jenggot panjang dan menyamaratakan semua bentuk jenggot adalah simbol kedunguan. Ini jelas pelecehan dan penghinaan terhadap pribadi Rasulullah SAW dan para shahabatnya serta perintah beliau kepada umatnya untuk memanjangkan jenggot. Seperti halnya pelecehan terhadap cadar yang ramai dilontarkan sebagian orang karena dianggap pakaian penjajah Arab dan teroris. Padahal menggunakan cadar ini adalah perintah nabi kepada istri-istrinya yang merupakan panutan umat Islam, malah dianggap pakaian teroris.
Ditengah acara Haul-Haflah Akhirussanah, Madrasah Hidayatul Mubtadiin di Lirboyo Kediri, Said Agil mengeluarkan pernyataan yang tidak pantas, menghina ulama dan habaib. Dalam pidatonya dia mengatakan, kalau ada ulama dari arab sering ke Indonesia (disebut dengan bahasa kluyar kluyur) berarti itu cuma guru ibtidaiyyah (dengan nada menghina). Begitu pula saat ada kunjungan ke kantor PBNU, Said Agil berbicara dengan bahasa Arab berusaha menjelaskan kepada Syekh Ahmad Thayyib tentang apa itu Islam Nusantara. Dia bilang bahwa Islam Nusantara adalah Islam orang nusantara Indonesia, Malaysia, Brunei yang penuh toleransi anti ektrimisme dan radikal, tidak sama dengan Islam Arab. Naudzubillah min dzalik.
Tanggapan; Memang rata-rata orang melayu berkepribadian kalem dan mudah toleran, sedangkan sebagian orang arab katanya berwatak keras. Menurut kami ini hanyalah rekayasa publik saja. Karena sebagian orang melayu itu juga berjiwa tegas, patriot, pemberani dan dalam ajaran Islam dan akhlak orang arab ternyata ada sifat-sifat murah hati seperti; Hilm, Badzl, Juud, Shabr banyak dimiliki oleh orang-orang arab, apalagi daerah Yaman yang terkenal dengan pribadi-pribadi para Saadah, Asyraf yang santun. Dengan ini maka tidak dibenarkan menganggap bahwa ajaran Nabi Muhammad SAW itu khusus untuk orang arab, sementara orang nusantara punya islamnya sendiri. Anggapan seperti ini jelas sesat menyesatkan, karena syariat Baginda Nabi SAW berlaku untuk semua bangsa dan sepanjang zaman.
Jadi orang Nusantara baik dari Indonesia, Malaysia, Brunei dan negara-negara serumpun melayu Islamnya tetap sama dengan Islam orang arab bahkan dengan islam bangsa manapun. Bagi mereka tidak ada perbedaan dalam praktek ibadah, seperti; Shalat menghadap Qiblat, puasa, zakat, haji ke Mekkah dan lain sebagainya. Andaikan berbeda paling dalam permasalahan yang bukan prinsipil (furu’iyyah), seperti; membaca Do’a Qunut Shalat Shubuh, membaca Ushalli, Qira’ah Alal Mauta Washshadaqah Anhum, Tawassul Bishshalihin, membaca Qishsah Maulidil Rasul SAW dan lain-lain yang bukan termasuk perkara wajib (Walaupun tidak wajib, namun sangat berguna sebagai ajang memberi banyak nasihat kepada umat Islam dan terjalin kerukunan dan keguyuban, serta untuk menumbuhkan rasa mahabbah kepada baginda Nabi Muhammad SAW). Boleh berbeda, asalkan jangan sampai mengkafirkan para pelaku amal-amal tersebut, karena itu sangat berbahaya sekali. Adapun perbedaan yang wajar dan diterima itu mengenai watak(tabiat), adat-adat lokal, dialek, bahasa, makanan khas, serta cara berpakaian (orang awam biasa berpakaian menurut apa yang mereka senangi, sementara kalangan santri lebih senang dengan penampilan putih polos, bersarung, lalu berpeci hitam bagi yang belum haji dan kopyah putih bagi yang sudah haji, sehingga lebih dekat dengan Sunnah Rasul).
Selain itu, Said Aqil dalam bukunya berjudul Tasawwuf sebagai Kritik Sosial, Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi (hal: 84) menulis, ”Syiah, Mutazilah, Asyariyah dan al-Maturidiyah adalah Ahlussunnah wal jamaah.” Masih dalam bukunya tersebut, Said Aqil menafikan Ukhuwah Islamiyah, dan mengatakan yang penting Ukhuwah Imaniyah, seperti Umat Islam, Konghucu dan Budha, dia menambahkan bahwa al-Quran tidak menekankan Ukhuwah Islamiyah. Ini kalau bukan liberalisme dan pluralisme apalagi namanya?
Menariknya, dalam pembukaan Muktamar Jam’iyyah Ahlit Thariqah An-Nahdhiyah di Ponpes al-Munawariyah Malang (Rabu, 10 Januari 2012) Said Aqil pernah mengatakan Islam Nusantara berakar dari ajaran “tauhid” Hindu-Budha. Menurutnya, dahulu orang Jawa sudah mengenal tauhid, hanya saja belum bernama Islam. Ajaran tauhid mereka saat itu bernama Kapitayan. Tuhan mereka yang satu ini dibantu oleh Sembilan penjaga penjuru, mirip dengan sembilan bintang yang ada di logo NU. Karena kemiripan inilah maka Mbah Hasyim Asy’ari menggunakan sembilan bintang dalam logo Nahdlatul Ulama. Ahlussunnah wa Jama’ah didefinisikan Said Aqil saat itu dengan “Pengikut Sunnah Nabi dan peduli Jama’ah (masyarakat seluruhnya). (www.nugarislurus.com).
Ingin tahu lebih lengkap tentang pemikiran-pemikiran Said Aqil Siraj, silahkan baca buku “Membuka Kedok Tokoh-Tokoh Liberal Dalam Tubuh NU”, buku kami yang kira-kira dua bulan terakhir ini dicekal di Lirboyo.
Termasuk pengusung utama ide Islam Nusantara adalah dedengkot Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Saat menjadi narasumber pada Studium General Stain Kudus (1 September 2015), ia mengatakan bahwa ciri Islam Nusantara yang disebutkan Ulil adalah tidak menganggap perempuan sebagai makhluk domestik (rumahan). Jadi kewajiban perempuan harus selalu berada di rumah adalah karena faktor budaya Arab yang menganggap wanita sebagai makhluk domestik. Menurutnya, ada ciri khas Islam Nusantara yang menarik dan berbeda dengan Islam di kawasan Arab, yakni perempuan di Indonesia memiliki peran di ruang publik dan tidak dianggap sebagai makhluk rumahan.
Tanggapan: Pernyataan Ulil yang bernada merendahkan terhadap posisi wanita mengurusi tugas-tugas domestik ini sangat jelas pengaruh feminisnya dan bertentangan dengan perintah Allah dan Rasulullah SAW. Firman Allah Ta’ala:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى [الأحزاب : 33]
Dan menetaplah di rumah kalian, dan jangan mencari perhatian ketika berjalan diantara laki-laki seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyyah terdahulu. (QS Al-Ahzab:33)
Batasan-batasan Islam yang diterapkan terhadap perempuan tentunya bukan bertujuan untuk mengekang kebebasan perempuan, melainkan untuk menjaga kehormatan dan kesucian perempuan itu sendiri. Inilah yang membuat Islam berbeda dengan budaya Barat yang menganggap perempuan sebagai materi yang bisa dieksploitasi dan dijadikan alat pemuas hawa nafsu laki-laki. Dan sekali lagi, bahwa larangan keluar bagi wanita itu bukan karena “Budaya Arab” seperti yang dituduhkan Ulil! Karena telah banyak hadits yang menjelaskan hal tersebut.
عَنْ عَبْدِ اللهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : إِنَّ المَرْأَةَ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ وَ أَقْرَبُ مَا تَكُوْنُ مِنْ وَجْهِ رَبِّهَا وَ هِيَ فِي قَعْرِ بَيْتِهَا.
Dari Abdullah, dari Nabi SAW bersabda; “Sesungguhnya wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar rumah, maka setan akan menyambutnya. Dan tempat paling dekat bagi wanita dari wajah Tuhannya adalah ketika ia di dalam rumahnya”.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ سُوَيْد الأَنْصَارِي عَنْ عَمَّتِهِ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهَا جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ قَالَ رَسُولَ الله : قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِيَ ، فَصَلاَتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي حُجْرَتِكِ ، وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ ، وَصَلاَتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ ، وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِي
Dari abdullah bin Suwaid al Anshari dari bibinya Ummi Humaid, istri Abu Humaid Assa’idi, bahwa beliau datang kepada Nabi SAW lalu berkata; “Wahai Rasulullah aku senang shalat berjamaah denganmu”. Rasulullah bersabda; “Aku sudah tahu kalau kau senang shalat bersamaku, akan tetapi shalat di kamarmu itu lebih baik daripada diluar kamar, dan diluar kamar itu lebih baik daripada diluar rumah, dan diluar rumah itu lebih baik daripada di masjid kaummu, dan dimasjid kaummu itu lebih baik daripada di masjidku”.
Salah satu pengusung IsNus (Islam Nusantara) lain, yaitu Katib ‘Am PBNU Yahya Cholil Tsaquf juga banyak mengeluarkan statemen buruk dan berbau rasis (anti etnis arab), bahkan menolak syariat dengan mengatasnamakan IsNus. Dia pernah mengatakan, “Islam Nusantara adalah Islam yang sejati, bukan Islam abal-abal model Timur Tengah.” Dia juga yang menggegerkan umat Islam Indonesia karena mendatangi undangan ke Israel pada 10 Juni 2018 kemarin dan berpidato di depan PM Israel Benjamin Netanyahu, “Kita berdiri bersama Israel, dan berdiri membela kebenaran.” Dia juga menyarankan dalam pidatonya tersebut bahwa Al-Quran adalah dokumen sejarah yang harus ditafsir ulang terutama tentang Yahudi. Dia juga pernah menghina al Habib Umar bin Hafidz dan para habaib Hadlramaut lain yang gemar rihlah ke Indonesia. Tulisnya dalam akun facebook; “mbah ndoro, panjenengan meniko saenipun mboten asring-asring tindak ngriki……………kejawi menawi panjenengan ngersaaken ngaos, monggo kulo aturi mapan dateng langgar. Kulo tak toto-toto rumiyen, mangke kulo wucal sak cekapipun”. Na’udzu billahi min dzalik.
Padahal tujuan mereka datang itu berdakwah dan nasyrulilmi, serta menggalang persatuan agar umat Islam Indonesia tidak terkena konflik seperti di Timur Tengah. Bahkan harusnya kita berterima kasih atas pembelajaran Islam dan budi pekerti oleh kakek buyut mereka di masa silam. Menurut tokoh Sejarawan, pendalaman ilmu kanuragan atau kejadugan menjadi bukti bahwa orang jawa punya watak “emoh ngalah”, bahkan istilah “ngalah” atau orang mau mengalah saja dulunya tidak pernah ada. Lalu kemudian Walisongo datang berdakwah menyampaikan ajaran Islam dengan cara-cara halus dan lembut. Sehingga bisa dipastikan para walisongo keturunan Yaman inilah yang mentulari sifat-sifat aris, welas, santun dan ramah kepada masyarakat jawa.
Gus Nuril, dedengkot pegiat Islam Nusantara yang dikenal sebagai tokoh lintas agama ini sering mengisi acara atau kegiatan rohani di Gereja, Klenteng Cina, Vihara atau tempat ibadah non-muslim lainnya. Banyak video yang beredar mengenai kontroversi dirinya, diantaranya dia menyatakan bahwa Nabi Adam AS dilahirkan di pulau jawa karena menurut keyakinannya Jawa adalah pusat peradaban masa lampau dan surganya dunia. Dia adalah gembong Liberalis, Pluralis, Sekuleris yang mengikuti jejak pendahulunya, Gus Dur. Makanya dia membela mati-matian Ahmadiyah, mengangkat si penista agama (Ahok) sebagai santri kehormatan, memberikan ceramah Natal sambil membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW di Gereja Bethany Tayu, Pati, menghina habaib dan ulama dan lain sebagainya. Lihat! https://www.youtube.com/watch?v=7VOTpOD5BQg&app=desktop). https://www.youtube.com/watch?v=4J5irUZYVE&app=dekstop.
Gus Muwafiq, mantan asisten pribadi Gus Dur saat masih menjabat sebagai presiden. Dia mengatakan bahwa Islam yang ada di Indonesia jelas berbeda dengan Islam yang ada di negara lain. Menurutnya, Islam Indonesia sudah merupakan akulturasi ajaran substansial Islam dengan budaya kejayaan Nusantara.https;//duta.co
Juga beredar video tentang cara shalat para penganut Islam Nusantara. Rekaman yang berisi praktek shalat jamaah berbahasa indonesia yang disaksikan oleh anak-anak kecil, kemudian ada juga sekelompok anak kecil sedang shalat dengan imamnya membaca bahasa indonesia. Lihat! https://www.youtube/PwWHkQwoLz0. Astagfirullah.
Dan masih banyak lagi keanehan-keanehan dan kejahatan-kejahatan terhadap agama yang disusun kaum Liberal begitu rapi dan dilontarkan kesana-kemari dengan mengatasnamakan Islam Nusantara. Maka tidak mengherankan jika MUI Sum-Bar mengeluarkan fatwa yang menolak istilah Islam Nusantara yang dinilai sarat kepentingan perusakan ajaran Islam, dimana MUI Pusat saat ini masih membiarkan istilah ini berkeliaran kemana-mana.
Penutup
Persoalannya bukan terletak pada Islam Nusantara sebagai sebuah “nama” dan “definisi”. Sebab jika yang kita perdebatkan hari ini hanya sekadar soal nama, maka betapa bodohnya kita, meributkan apa yang telah ada dan dipakai sejak puluhan tahun yang silam. Jadi bagaimanapun, di sini mesti ditegaskan bahwa kontroversi Islam Nusantara yang terjadi hari ini terletak pada muatan atau isi yang diboncengkan oleh kalangan tertentu kepada nama “Islam Nusantara” itu sendiri. Karena itu, mau berganti nama berapa kali pun, jika isinya tetap sama, ia tetap akan kontroversial juga.
Isi dan muatan yang dimaksudkan itu tak lain adalah nilai-nilai di luar Ahlusunah wal-Jamaah, dalam hal ini adalah paham liberalisme, yang berusaha disusupkan ke dalam umat Islam di Indonesia melalui Islam Nusantara sebagai topengnya. Makanya, sejak zaman dahulu nama Islam Nusantara, atau Islam di Nusantara, atau Ulama Nusantara itu memang sudah ada tapi tidak menimbulkan reaksi dan kontroversi, karena memang tak digunakan untuk memasarkan paham-paham liberal.
Namun sejak muncul sejumlah tokoh yang merendahkan Arab dan segenap budayanya, menghina para habaib dari Arab yang rajin berdakwah di Indonesia, begitu mudah mempermainkan ajaran-ajaran syariat Islam, mengatakan cadar bukan ajaran Ahlusunah wal-Jamaah, menuduh Islam Arab sebagai Islam abal-abal, yang semua itu dengan mengatasnamakan Islam Nusantara, reaksi dan penolakan pun tak terelakkan. Sekali lagi, bukan menolak Islam Nusantara sebatas sebagai nama atau definisi, namun dikarenakan muatan-muatannya (yaitu ridlo kepada kufur, bid’ah dan kebusukan hati kepada baginda Nabi Muhammad SAW, ahlul bait dan para sahabat yang notabene berbangsa arab).
Sebagai tambahan untuk bahayanya Islam Nusantara. Setelah KH.Ma’ruf Amin menerima IsNus beberapa dampak negatif terjadi, diantaranya;
1. Syariat Islam yang dicaci, dihina dan direndahkan oleh musuh-musuhnya tidak lagi dibela.
2. Banyak kasus penodaan agama tapi tidak ada reaksi tegas dari MUI Pusat, seperti; Megawati yang dalam pidato acara Hut PDIP ke-44 menganggap hari kiamat sebatas ramalan belaka serta Sukmawati yang melecehkan ajaran Islam dalam bait-bait puisinya; “Kidung ibu Indonesia sangatlah elok, lebih merdu dari alunan adzanmu”. Tidak ketinggalan puisi karya seorang “Gus” yang berbunyi; “Kau bilang Tuhan sangat dekat namun kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat”. Dan bukannya menindak, beliau Ketua MUI malah mengatakan; “Puisi itu sejatinya hanya fikiran seorang seniman atau budayawan yang bebas mengekspresikan pikiran tanpa memikirkan akibatnya ketika didengarkan pihak lain”. Makanya tidak heran begitu mudahnya beliau menerima maaf bahkan mengajak umat Islam untuk memaafkan Sukmawati. Dan anehnya lagi, bunyi bait puisi “Aku Harus Bagaimana”. Bukankah panggilan adzan diperuntukkan bagi kaum muslim agar segera datang shalat berjamaah, bukannya untuk Tuhan. Darimanakah dia mendapat pemahaman nyeleneh ini? Mendewakan imajinasi, melupakan hukum syar’i.
3. Fatwa MUI melemah. Tidak ada reaksi keras terhadap program pemerintah tentang Vaksin MR yang mengandung Khinzir. Malahan ada fatwa membolehkan Vaksin Enzim Babi ini dikonsumsi dengan alasan dlarurat. Padahal tidak ada dlarurat, buktinya saja di negara Amerika atau Barat dan negara-negara kafir lain tidak ada vaksin ini. Bahkan dalam Vaksin MR terdapat double madlarrat kelas berat, yaitu; berbahaya segi agama dan segi kesehatan.
4. Lembeknya perhatian atau reaksi terhadap wacana akan diundang-undangkannya penertiban adzan ditiap masjid dan mushala.
5. NU kelihatan “melempem”. Padahal semangat Fastabiqul Khairat dan gambar bintang sembilan yang menjadi simbol gerakan dakwah walisongo yang semuanya bermadzhab Sunny Syafi’i, semestinya organisasi ini tidak boleh kalah dari Muhammadiyyah, serta harus punya Ghirah Islamiyyah dan jiwa beramar ma’ruf nahi munkar yang kuat, bukan malah mengikuti ajaran Wahdatul Adyan atau Wahdatul Wujudnya Siti Jenar (yang Syi’i Batiniy), seperti yang dilakukan Gus Dur dan para penerusnya.
6. Dulu KH. Ma’ruf Amin berfatwa untuk tidak memilih pemimpin yang suka ingkar janji. Tapi sekarang setelah “dijongkrokno” (dijerumuskan) oleh Muhaimin Iskandar, Said Aqil, Romahurmuzi dan kawan-kawannya, beliau berubah haluan bahkan membuntuti Jokowi sebagai calon wakil presiden. Padahal dibalik itu, yang paling banyak dapat keuntungan kontrak politik dengan cukong dan bos-bosnya adalah para penjerumus beliau itu. Dan sangat disesalkan ketika Rais Am ikut meramaikan panggung politik Indonesia. Padahal ormas NU mengaku sudah lepas dari politik praktis, maka seharusnya tokoh besar organisasi yang bergerak dalam bidang keagamaan ini tidak ikut pencalonan dalam Pilpres 2019. Parahnya lagi beliau adalah Mufti tertinggi (ketua MUI Pusat) di negeri ini, tidak mau melepaskan jabatan MUI-nya tetap ikut nyalon sebagai Wapres. Justru ini menunjukkan besarnya ambisi kekuasaan, sehingga menjadikan fatwa-fatwanya terasa basi karena ditekan atau dikendalikan penguasa dan akhirnya dianggap angin lalu belaka.
7. Dalam pidato KH. Ma’ruf Amin pada acara orientasi caleg Partai Nasdem di hotel Mercure, Ancol Jakarta, beliau menyuarakan untuk bersama-sama memantapkan Islam Nusantara. Menurut kami, jelas ini membuktikan bahwa IsNus juga menjadi bagian dari proyek Jokowi, oleh karena itu pada Pilpres mendatang muslim Aswaja harus super waspada.
8. Masih dalam pidato beliau; “Pancasila adalah hasil kesepakatan…., begitu juga Islam di Nusantara adalah Islam beserta kesepakatan”. Sebenarnya itu hasil kesepakatan antara siapa dengan siapa? Kalau itu Pancasila yang berpijak pada Ideology Pluralisme agama, maka umat Islam tidak boleh diam saja. Kemudian kesepakatan seperti apakah ini? Karena Islam bukanlah agama hasil kesepakatan. Innaddina ‘Indallah hanyalah agama yang dibawa Rasulullah SAW, sementara di Indonesia yang terjadi hanya kesepakatan oknum umatnya. Namun dalam realitanya, banyak umat Islam pasrah saat agama mereka dilecehkan, martabat mereka diinjak-injak dan berdamai dengan non-muslim karena merasa tidak berdaya. Jadi apakah yang dimaksud kesepakatan itu berarti ketertindasan atau keterpaksaan?! persis dengan kata NKRI yang oleh sebagian orang diplesetkan; Negara Komunis/Kristen/Konghucu Republik Indonesia. Jika memang begitu adanya, maka IsNus mutlak harus ditolak karena tidak sesuai dengan Izzul Islam Wal Muslimin. Dan hasil kesepakatan ketika dinodai orang-orang kafir atau munafik bukankah seharusnya dibatalkan, sebagaimana pembatalan Suluh Hudaibiyyah karena diciderai kafir Quraisy yang kemudian membawa Rasulullah SAW meraih Fathu Makkah.
Statemen-statemen kami ini bukan berarti mengajak adu perang fisik atau sedang berkampanye politik untuk pasangan PAS. Akan tetapi semata hanya kampanye perang ideologi atau dakwah pada Ghirah Islamiyyah dan semangat Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Adapun pilihan politik kami jatuh pada pasangan PAS dengan pertimbangan rasa agak nyaman dalam ideologi memperjuangkan dan melestarikan Akidah Ahlussunnah wal Jamaah bersama tokoh-tokoh Aswaja garis lurus, seperti; al Habib Dr. Ahmad bin Abdullah al Kaff beserta dua saudaranya; al Habib Hamid al Kaff dan al Habib Zainal Abidin al Kaff, KH. Abdul Rasyid Syafii, KH. Idrus Ramli, KH. Lutfi Bashori, KH. Ali Karrar, KH. Abdusshomad (Surabaya), KH. Syukron Ma’mun, Kyai Arifin Ilham, Tengku Dzul Qurnain, Ustad Abdusshomad (Riau), para habaib dan ulama-ulama yang lain. Sangat patut disayangkan (menurut kita santri Aswaja), dalam kubu ini terdapat beberapa aktifis Salafi-Wahabi dan Muhammadiyah, tapi ini lebih mending daripada mendukung pasangan lain yang tampak penuh kepentingan asing, aseng cina, Komunis, Salibis, pendukung LGBT, Feminisme, Ahoker, Syiah Rafidhah, Liberalis, Pluralis, Sekuleris.
Walhasil, Konsep Islam Nusantara memaksa untuk mengakui Pancasila dan Budaya Nusantara sebagai sumber hukum selain al Qur’an dan al Hadits. Islam Nusantara sangat menyesatkan karena ingin menjauhkan kaum muslimin dari sumbernya langsung; al Qur’an, al Hadits dan pemahaman-pemahaman agama dalam Kitab Turats yang Mu’tabarah. Rasulullah SAW adalah orang arab, para shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in dominan orang arab. Ketika propaganda untuk membenci arab disebarluaskan, maka hakikatnya adalah memutus jalur sanad sehingga ilmu akan hilang. Sebagaimana orang-orang Syiah yang hanya berdalil dengan yang sampai kepada imam mereka. Urusan khilafiyah dengan Salafi-Wahabi dalam kelompok PAS memang tidak bisa dihentikan, apalagi dimatikan, seperti halnya arah pergerakan IsNus. Namun insyallah dengan berkah walisongo, pesantren dan para habaib tradisi Ahlussunnah kita akan tetap berjalan dan tidak bisa dipengaruhi oleh mereka. Kewajiban kita adalah melestarikan ngaji-ngaji kitab salaf di pesantren, madrasah diniyah, majelis taklim di masjid-mushalla, serta menjaga amaliah & tradisi Ahlussunnah Wal Jamaah di masyarakat kita masing-masing. Tidak kalah penting dalam lingkup keluarga, kita harus mengamalkan “Quu anfusakum wa ahlikum naara”; menjaga, mentarbiyah anak-anak secara Islami serta menghindarkan seluruh anggota keluarga dari perkara maksiyat, pergaulan bebas, Pornografi, Pornoaksi, Virus LGBT, Anak Punk, pengamen jalanan, Grub Band, Fanatisme superter bola, tindakan brutal remaja, Gangster dan lain-lain, lebih-lebih mengkonsumsi makanan haram.
Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia bahkan Nusantara, menjadi benteng terkuat saat menghadapi penjajah mulai dari bangsa Portugis, Belanda, Jepang, Sekutu sampai Komunis Atheis, sudah saatnya berbenah diri dengan kembali keajaran para pendahulu Salafunashshalih; menata hati dan niat, mengobarkan semangat amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Ghirah Islamiyyah agar terhindar dari Radikalisme dan Terorisme, tidak terseret dalam Westernisasi seperti; pergaulan bebas, pacaran, sex bebas, miras, narkoba, LGBT, Pornoaksi, Pornografi, Feminisme, mendewakan HAM, serta tidak terjebak dalam Liberalisme, Pluralisme, Sekulerisme (dalam gerbong NU) yang hakikatnya mengajak pada ajaran Komunisme.
Jadi, pengembangan dan pengelolaan pesantren tidak boleh tercurahkan dalam urusan bangunan fisik saja, sehingga menggalang dana dimana-mana atau hanya memperbanyak jumlah santri dengan berbagai macam promosinya. Dan pihak pemerintah, seharusnya bersyukur dengan keberadaan pesantren, selalu mendukung segala kiprah perjuangannya dan memasukkan lembaga pesantren, Madrasah Diniyah ke dalam Undang-Undang. Begitu juga elemen masyarakat, rasa syukur harus diwujudkan dengan menitipkan anak-anak mereka dibenteng paling kokoh dalam mempertahanankan Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah ini.
Semoga Allah menjauhkan kaum muslimin dari faham-faham sesat, serta menetapkan mereka dalam agama Islam yang sunni (kaffah) yang dibawa oleh orang-orang arab; dari Rasulullah SAW, para sahabat, tabiin kemudian sampai kepada kita lewat walisongo, para habaib dan masyayikh berketurunan arab. Amin.
Sarang, 1 Oktober 2018
KH. MUHAMMAD NAJIH MAIMOEN