ISLAM LIBERAL: KONSEPSI, AKTUALISASI, DAN TANGGAPANNYA (2)

Dari Tradisi Yahudi dan Kristen

Agama Yahudi  telah  lama  mengalami  liberalisasi,  sehingga  saat  ini,  “Liberal  Judaism”  (Yahudi Liberal) secara resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama Yahudi. Dalam situsnya, http://www.ulps.org,  kaum  Yahudi  Liberal  menjelaskan,  bahwa  Yahdudi  Liberal  (Liberal Judaism)  mulai  muncul  pada  abad  ke-19,  sebagai  satu  upaya  untuk  menyesuaikan  dasar-dasar  ajaran  agama  Yahudi  dengan  nilai-nilai  zaman  pencerahan  Eropa  (Enlightenment) tentang  pemikiran  rasional  dan  bukti-bukti  sains.  Kaum  Yahudi  liberal  berharap mereka dapat menyesuaikan  agama  mereka dengan masyarakat modern. Kaum Yahudi liberal juga percaya  bahwa  Kitab-kitab Yahudi (Hebrew Scriptures) – termasuk Taurat – adalah upaya manusia  untuk  memahami  Kehendak  Tuhan,  dan  karena  itu,  mereka  menggunakan  Kitab-kitab  itu  sebagai  titik  awal  dalam  pengambilan  keputusan.  Mereka  pun  sadar  akan kemungkinan kesalahan  Kitab  mereka dan  menghargai nilai-nilai pengetahuan diluar Kitab agama mereka.
Zionisme bisa dikatakan satu ideologi secular liberal yang sangat dramatis dan sukses mencapai tujuannya di abad ke-20. Berangkat dari rumusan sederhana terhadap kondisi riil fenomena “anti-semitisme” (lebih tepatnya: Anti-Jews) di Eropa, ideologi ini disusun dengan sasaran jelas: membentuk sebuah begara Yahudi. Dalam tempo 50 tahun sejak Kongres Zionis pertama tahun 1897, negara yahudi –yang diberi nama Israel- itu berdiri pada 14 Mei 1948. Menghadapi berbagai penindasdan atas Yahudi di Eropa, kalangan Yahudi ketika itu terbelah menjadi dua. Satu berpikiran, “asimilasi” dengan masyarakat Kristen Eropa-Amerika adalah cara yang tepat untuk mengatasi problema itu. pikiran lain adalah Zionisme politik, yang berpendapat bahwa masalah Yahudi hanya bisa diselesaikan dengan mendirikan sebuah negara khusus untuk kaum Yahudi.
Bagi Yahudi, istilah Zion memang mengandung makna religious, dan memiliki akar sejarah yang panjang. Di sinilah nanti akan terlihat, bagaimana lihainya kaum Zionis yang sebenarnya sekuler, menggunakan istilah “Zionisme” untuk menamai gerakan mereka sehingga mampu menarik banyak dukungan orang Yahudi. Mazmur 137:1 menyebutkan, “Di tepi sungai-sungia Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion.” Yesaya 52:1 menyebutkan, “Terjagalah, terjagalah! Kenakanlah kekuatanmu seperti pakaian, hai Sion! Kenakanlah pakaian kehormatanmu, hai Yerusalem, kota yang kudus!”
Tampak bahwa istilah “Zionisme” digunakan dalam kerangka kepercayaan dan harapan ini. Orang-orang Yahudi yang sedang diusir dan dianiaya di Eropa kemudian diidentikkan dengan kondisi Yahudi yang berada dalam pengusiran di Babylonia, setelah kota mereka dihancurkan oleh Nebuchadnezzar (Bukhtanashr) pada 586 SM.
Proyek Zionisme sendiri sebenarnya ditentang oleh kaum Yahudi yang konsisten dan taat dengan ajaran kitab suci mereka seperti the Haredim Movement dan Naturei Karta. Kelompok Haredim memandang bahwa jika Yahudi menaati Taurat, kata mereka, maka Tuhan akan mengembalikan tanah itu kepada Yahudi. Usaha apa pun untuk mempercepat penempatan Yahudi di “tanah yang dijanjikan” adalah suatu ketidaksabaran atas janji Tuhan. Kelompok keras Yahudi lainnya, Naturei Karta, menganggap negara Israel sebagai produk dari “Zionisme tak bertuhan” (godless Zionism). Mereka memandang bahwa Zionisme telah mengubah konsep orisinal dari The promised land  ke dalam bentuk konsep “nasionalisme”, dimana tanah dan bahasa Hebrew memungkinkan mereka menjadi yahudi tanpa Tuhan. (bandingkan dengan kasus pembentukan negara sekuler Turki oleh Musthafa Kemal Attaturk yang didasarkan atas nasionalisme bangsa Turki)
Pada kenyataannya, istilah “Jewish state” memang menunjukkan negara Israel merupakan negara yang rasialis (nasionalis). Identifikasi ke-Yahudi-an ditentukan tahun 1950-1954 dalam cara yang sama dengan definisi Hitler (dan berbagai ideologi atau kelompok anti-Semitisme) lainnya, yaitu siapa saja yang memiliki “darah Yahudi”. Tahun 1970, the Law of Return (aturan kembali ke tanah Yahudi, pen) diubah dengan mendefinisikan Yahudi sebagai “orang yang dilahirkan dari ibu Yahudi, atau yang memeluk agama Yahudi, dan tidak menjadi pemeluk agama lain”.
Sebagian Yahudi religious yang mengunjungi Yerusalem sebelum para Zionis juga memandang bahwa suatu negara secular dan demokratis bagi Yahudi adalah suatu barang haram. Pada tahun 1881, para rabbi Yahudi di Yerusalem mengecam para pendatang Zionis dan menyebut mereka sebagai ‘para pendatang agresif yang mencemari tanah ini’ dan mendesakralisasi kesucian Yerusalem.
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat,  Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium  Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65 M). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama  Kristen sebagai suatu kejahatan. Menurut Abdullah Nashih Ulwan, pada era awal ini pengamalan  agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337)  mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392  keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi  Imperium Romawi. Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad  Pertengahan (Medieval  Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai  menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran.
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan  dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut  gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564).
Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w.  1755), Voltaire  (w.  1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi  Perancis  tahun  1789  yang  secara  total  akhirnya  memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. (Qashash, 1995:30-31). Sejak itulah lahir sekulerisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat.
Pada abad ke-20, liberalisasi dalam tubuh Kristen semakin menjadi-jadi. Pada 1987, di Jerman,  menurut laporan Institute for Public Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama  sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada  dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu. 
Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan  mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat –sebelum bersatu dengan Jerman Timur —  terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang. 
Fenomena Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus  budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme, dan hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda.  Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja  Inggris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral Church” mengimbau agar gereja  memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita. 
Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang  serupa. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu  juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal  sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku. 
Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama  mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.

Tinggalkan komentar