Pada hari Sabtu 25 November 2017, penulis mengikuti sebuah diskusi Ilmu Kalam. Temanya adalah tentang gerakan Salafiyah atau yang dimaksud dengan Wahabi. Dalam makalah yang dipresentasikan dalam forum tersebut ada satu pernyataan yang menurut penulis sangat mencengangkan, yakni bahwa termasuk pelopor gerakan Salafiyah adalah Ahmad bin Hanbal disandingkan dengan Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Jadi selama ini Ahmad bin Hanbal yang diyakini oleh kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pejuang akidah Aswaja yang begitu terkenal dengan kegigihannya mempertahankan akidah “Al-Quran bukan makhluk” melawan represi pemerintahan khalifah al-Ma’mun, ternyata merupakan salah satu “pelopor” gerakan Salafi yang akhirnya menjadi Wahabi. Dalam makalah tersebut ditulis:
“Ketenarannya sebagai tokoh salafiyah terkait erat dengan masalah yang ia alami yaitu penyiksaan yang dilakukan oleh penguasa Al-Ma’mun. Di mana para penguasa ketika itu memaksa para ulama doktrin Muktazilah tentang kemakhlukan Al-Quran. Diantara butir pemikirannya yang secara umum jelas sebagai dasar dari pemikiran Salafiyah, bahwa ia lebih suka menggunakan pendekatan tekstual daripada pendekatan ta’wil. Sedangkan yang berkaitan dengan Al-Quran apakah makhluk atau tidak, jawabnya hanya bahwa Al-Quran tidak diciptakan. Bagaimana Al-Quran sesungguhnya ia tidak mau membahas lebih lanjut. Artinya, ia kembali menyerahkan kepada Allah SWT.”
Jika ditelusuri lebih lanjut, pandangan Ahmad bin Hanbal sebagai pelopor gerakan Salafiyah sudah didakwahkan sejak lama diantaranya oleh Harun Nasution yang terkenal sebagai tokoh “pro-Muktazilahnya” Indonesia. Menurut Harun Nasution, secara kronologis Salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan oleh Ibnu Taimiyyah, kemudian disuburkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis. (Zainuddin, 2008, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 43-44) Pandangan seperti ini akhirnya bertebaran di berbagai buku studi Ilmu Kalam yang beredar di dunia akademik.
Tulisan ini akan menganalisa pandangan ‘miring’ tentang Ahmad bin Hanbal tersebut. Hal ini untuk tujuan mendudukkan statemen tersebut apakah fakta atau fiktif belaka sehingga yang muncul adalah fitnah kepada salah satu imam agung Madzahibul Arba’ah tersebut.
Pertama: Jalinan Kuat Ahmad bin Hanbal dan Asya’irah
Dalam pernyataan diatas ditulis, “Ketenarannya sebagai tokoh salafiyah terkait erat dengan masalah yang ia alami yaitu penyiksaan yang dilakukan oleh penguasa Al-Ma’mun. Di mana para penguasa ketika itu memaksa para ulama doktrin Muktazilah tentang kemakhlukan Al-Quran.”
Pertanyaannya, benarkah hanya karena Ahmad bin Hanbal membela mati-matian ketidakmakhklukan Al-Quran lalu dengan mudahnya beliau dicap sebagai pelopor gerakan Salafiyah?
Sebelum itu, perlu dibedakan dulu antara salaf dan salafiyah. Syaikh Muhammad Najih menjelaskan bahwa Salaf merupakan nama golongan yang mengikuti manhaj (metodologi) para Shahabat Rasulullah dan Tabi’in, termasuk di dalamnya adalah Imam Madzhab Fiqh Empat: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. (Syaikh Muhammad Najih, al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari wa ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, hlm. 10)
Sedangkan ciri-ciri dari Salaf atau salafusshalih ada empat yaitu disebut aliran al-Jama’ah atau mayoritas kaum Muslimin, mengikuti Ijma’ ulama, memelihara kebersamaan dan kolektifitas, dan diikuti oleh al-sawad al-a’zham atau mayoritas kaum Muslimin. (Syaikh Muhammad Najih, Ahlussunnah wal Jama’ah Akidah, Syari’ah, Amaliyah, Sarang: Toko Kitab Al-Anwar 1, hlm. 12-16)
Bandingkan ciri-ciri Salaf diatas dengan kelompok yang menamakan dirinya sebagai Salafiyah yang berkembang sekarang. Selain mereka mengeksklusifkan nama “salafi” untuk diri mereka sendiri, ajaran-ajaran kelompok Salafiyah juga banyak yang bertentangan dengan karakter-karakter Salaf diatas seperti membid’ahkan pelaku tawasul dan ziarah kubur yang jelas-jelas dilakukan oleh para Shahabat dan Tabi’in, mengkafirkan dan mensyirikkan mayoritas umat Islam, meyakini akidah tajsim-tasybih yang jelas ditolak oleh Ijma’ ulama, dan lain sebagainya.
Termasuk bukti bahwa Ahmad bin Hanbal akidahnya sama dengan Asy’ariyah keterangan Syaikh Muhammad Najih, bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari menyempurnakan diri beliau kembali kepada manhaj salaf ketika belajar kepada para ulama-ulama pengikut Ahmad bin Hanbal, sehingga beliau kembali kepada ajaran para salafusshalih dari Shahabat Nabi dan Tabi’in. (al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari wa ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, hlm. 10) Pengikut Hanabilah di Baghdad setelah itu selama bertahun-tahun lamanya mengikuti akidah Asya’irah sebelum terjadi masa perpecahan di zaman Abu Nashr bin Qusyairi dan menteri Nizhamul Mulk. (al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari wa ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, hlm. 8)
Jika Imam al-Asy’ari bisa kembali kepada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah berkat ajaran pengikut Ahmad bin Hanbal, maka sangat aneh jika ajaran Ahmad bin Hanbal bertentangan dengan muridnya sendiri. Jika memang ada riwayat valid yang menunjukkan Ahmad bin Hanbal berubah dari keyakinannya yang awal, silahkan saja ditunjukkan!
Bahkan Imam Abu Hasan al-Asy’ari dalam al-Ibanah menyatakan dengan jelas:
“Perkataan dan keyakinan kami adalah berpegang teguh kepada Kitab Tuhan kami, Sunnah Nabi kami, dan riwayat dari Shahabat, Tabi’in, dan Imam-imam Hadits, serta ajaran yang diucapkan oleh Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.” (al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari wa ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, hlm. 16)
Dengan demikian ajaran Ahmad bin Hanbal sesuai dengan ajaran Asy’ariyah. Lalu apalagi argumentasi orang-orang seperti Harun Nasution untuk menolak bukti-bukti ini dan menguatkan pendapat mereka bahwa Imam Ahmad adalah gembong kelompok Salafiyah?
Bahkan banyak bukti yang menjelaskan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal banyak berbeda dengan kaum Salafiyah dalam berbagai pandangan mereka, diantara sebagai berikut:
Pertama, ketika kaum Salafiyah menjelek-jelekkan Ilmu Kalam yang ditekuni oleh Asya’irah-Maturidiyah dan mengharamkan pembelajarannya, seorang ulama Hanabilah Yusuf bin Abdul Hadi al-Maqdisi menyebutkan dalam Maqbul al-Manqul min ‘Ilmay al-Jadal wa al-Ushul bahwa mempelajari Ilmu Kalam menurut Imam Ahmad bin Hanbal adalah masyru’ (disyari’atkan) dengan beberapa bukti:
1. Imam Ahmad ditanya, “Apa pendapat Anda tentang lelaki yang sibuk puasa dan shalat namun diam tidak mau membantah omongan ahli bid’ah?” Seketika wajah beliau muram dan berkata, “Apabila dia shalat, puasa, dan mengucilkan diri dari orang lain bukankah hal itu untuk dirinya sendiri?” Penanya tadi menjawab, “Iya.” Imam Ahmad melanjutkan, “Jika dia membantah ahli bid’ah maka manfaatnya bagi dia juga bagi orang lain, maka perkataannya tadi lebih utama.”
2. Imam Ahmad sering membantah dan membungkam argumen kaum Muktazilah dan Jahmiyah, dan hal ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang mampu memadukan naql dan ‘aql sekaligus.
3. Imam Ahmad punya satu kitab khusus untuk membantah kaum Zindiq dan Qadariyah tentang ayat-ayat Mutasyabihah dalam Al-Quran dan lainnya, dan sering berhujjah dengan nalar rasional seperti penuturan ulama kenamaan madzhab Hanbali Ibn Muflih dalam al-Adab al-Syar’iyyah. (Musthafa Hamdi dan Alyan Hanbali, al-Hanabilah wa al-Ikhtilaf ma’a al-Salafiyyah al-Mu’ashirah, hlm. 181-182)
Kedua, ketika kaum Salafiyah begitu mudah memberi cah kafir kepada mayoritas umat Islam baik disuarakan secara lantang maupun disembunyikan di dalam hati atau komunitas mereka sendiri, maka Imam Ahmad berkata, “Ketika orang sudah membaca Syahadain maka dia telah masuk Islam.” Ketika Imam Ahmad ditanya tentang seorang Kristen yang masuk Islam apakah wajib bagi dia bebas dari kekristenan dan meninggalkan ajarannya sama sekali baru bisa dianggap orang Islam, maka beliau menjawab, “Ucapkanlah Syahadatain maka dia telah masuk Islam.” (al-Hanabilah wa al-Ikhtilaf ma’a al-Salafiyyah al-Mu’ashirah, hlm. 187)
Dalam hal ini, Imam Ahmad terlihat sangat longgar dalam menyebut keislaman seseorang, sehingga orang Kristen yang belum bisa lepas dari sisa-sisa ajarannya saja ketika sudah membaca syahadat sudah dikatakan Islam. Berbeda sekali dengan kaum Salafiyah-Wahabi yang begitu ‘longgar’ dalam mengkafirkan orang Islam hanya dengan ajaran ‘pembaruannya’.
Bahkan Imam Ahmad malah berkata, “Sifat seorang mukmin adalah bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah, mengakui ajarang yang dibawa para nabi dan rasul, berpegang teguh dengan yang terlihat, tidak ada keraguan iman, tidak mengkafirkan orang yang bertauhid sebab dosa, mengembalikan hal-hal gaib kepada Allah dan menyerahkan kepadanya…” (al-Hanabilah wa al-Ikhtilaf ma’a al-Salafiyyah al-Mu’ashirah, hlm. 188) Ini menjadi tamparan keras Imam Ahmad bin Hanbal kepada kaum Salafiyah yang gemar mengkafirkan dan menisbatkan kelompok mereka kepada beliau.
Ketiga, ketika kaum Salafiyah menjelek-jelekkan tasawuf dan menganggapnya sebagai bid’ah dan biang keladi kemunduran umat, maka Ibn Muflih, al-Bahuti, dan al-Safarini meriwayatkan sebuah cerita bahwa Imam Ahmad pernah diajak bicara seseorang, “Kaum Sufi hanya duduk-duduk di masjid tanpa ilmu dengan modal tawakkal.” Maka Imam Ahmad menjawab, “Ilmu yang menemani duduk mereka.” Lalu beliau ditanya lagi, “Mereka tidak menginginkan dunia kecuali hanya sepotong roti dan selembar kain.” Imam Ahmad menjawab, “Saya tidak pernah melihat kaum yang lebih utama daripada mereka.” Beliau ditanya lagi, “Sebagian dari mereka tidak sadar diri dan bahkan ada yang mati.” Lalu Imam Ahmad menimpali dengan Firman Allah Ta’ala:
وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ [الزمر : 47]
“Jelaslah bagi mereka dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Al-Zumar: 47) (al-Hanabilah wa al-Ikhtilaf ma’a al-Salafiyyah al-Mu’ashirah, hlm. 678)
Karena itu, Imam Syafi’i berkomentar tentang Imam Ahmad, “Imam Ahmad adalah ahli delapan hal: imam Hadits, imam Fiqh, imam bahasa, imam Al-Quran, imam dalam fakir, imam dalam zuhud, imam dalam wira’i, dan imam dalam membela Sunnah.” Selain itu, dalam kitab-kitab Thabaqat al-Shufiyyah seperti Hilyah al-Auliya karya Abu Nuaim al-Ashfihani, al-Thabaqat al-Kubra karya al-Sya’rawi, dan Kasyf al-Mahjub karya al-Hujwiri, Imam Ahmad dicatat namanya sebagai pembesar dari kaum Sufi. Bahkan kitab-kitab tasawuf seperti al-Risalah karya al-Qusyairi, al-Futuhat al-Makkiyyah karya Abu Bakr Ibn Arabi, dan Ihya ‘Ulum al-Din karya al-Ghazali banyak sekali meriwayatkan sikap sufi Imam Ahmad bin Hanbal. (al-Hanabilah wa al-Ikhtilaf ma’a al-Salafiyyah al-Mu’ashirah, hlm. 677-679)
Dari penjelasan singkat, masihkah ada dari kita yang menisbatkan Imam Ahmad bukan sebagai Imam Ahlussunnah wal Jamaah dan tetap ngotot mengatakan beliau sebagai pelopor gerakan Salafiyah?
Kedua: Ketidakmakhlukan Al-Quran
Statemen tentang Ahmad bin Hanbal selanjutnya adalah, “Diantara butir pemikirannya yang secara umum jelas sebagai dasar dari pemikiran Salafiyah, bahwa ia lebih suka menggunakan pendekatan tekstual daripada pendekatan ta’wil. Sedangkan yang berkaitan dengan Al-Quran apakah makhluk atau tidak, jawabnya hanya bahwa Al-Quran tidak diciptakan. Bagaimana Al-Quran sesungguhnya ia tidak mau membahas lebih lanjut. Artinya, ia kembali menyerahkan kepada Allah SWT.”
Pertanyaannya, apakah pendapat Ahmad bin Hanbal tentang ketidakmakhlukan Al-Quran merupakan ajaran kelompok Salafiyah? Apakah pendapat beliau ini murni tanpa dalil-dalil rasional? Pernyataan diatas seakan ingin mengatakan bahwa Ahmad bin Hanbal tidak mau menggunakan akalnya untuk menyikapi makhluk tidaknya Al-Quran. Inna liLlahi wa inna ilaihi raji’un.
Untuk menguji seberapa rasional akidah ulama salaf tentang ketidakmakhlukan Al-Quran yang diikuti oleh Ahmad bin Hanbal, kita dapat membuktikannya dengan beberapa riwayat berikut yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad Najih dalam al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari wa ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (hlm. 31-32):
Pertama, Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang sekelompok orang yang berkata Al-Quran bukanlah makhluk dan juga bukan tidak makhluk, maka beliau menjawab, “Akidah yang saya yakini dan tidak ada keraguan di dalam adalah Al-Quran bukan makhluk.” Lalu beliau memberi argumentasi dengan Firman Allah Ta’ala:
الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) [الرحمن : 1 – 3]
“(Tuhan) yang Maha pemurah, (1) Yang telah mengajarkan Al-Quran. (2) Dia menciptakan manusia. (3)” (QS. Al-Rahman: 1-3)
Di dalam ayat ini dibedakan antara manusia dan Al-Quran, hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran bukanlah makhluk seperti manusia.
Melihat argumentasi diatas maka terlihat Ahmad bin Hanbal menggunakan logika untuk memahami dalil naqli diatas, tidak melulu berdalil ayat Al-Quran tanpa ada penjelasan logisnya.
Kedua, Ahmad bin Hanbal berkata, “Al-Quran merupakan bagian dari ilmu Allah. Apa kalian tidak memperhatikan Firman Allah Ta’ala:
عَلَّمَ الْقُرْآنَ [الرحمن : 2]
“Yang telah mengajarkan Al-Quran.” (QS. Al-Rahman: 2)
Lanjut Imam Ahmad menjelaskan tentang ketidakmakhlukan Al-Quran:
“Dan Al-Quran termasuk Ilmu Allah. Lalu apa yang akan mereka (Muktazilah) katakan? Bukannya mereka berkata bahwa Asma’ Allah bukan makhluk? Allah selalu bersifat Qadir (Maha Kuasa), ‘Alim (Maha Tahu), ‘Aziz (Maha Agung), Hakim (Maha Bijak), Sami’ (Maha Mendengar), dan Bashir (Maha Melihat). Kita tidak ragu bahwa Asma Allah bukan makhluk, kita tidak ragu bahwa Ilmu Allah bukan makhluk, sedangkan Al-Quran merupakan bagian dari Ilmu Allah dan di dalamnya terdapat Asma Allah, maka kita tidak ragu bahwa Al-Quran bukan makhluk. Al-Quran adalah Kalam Allah Ta’ala, dan Allah selalu bersifat Mutakallim (Maka Berbicara).”
Bagi orang yang sehat pikirannya dan bersih hatinya dari berbagai kepentingan, pernyataan Imam Ahmad diatas tentu dinilai sebagai argumentasi nalar rasional. Argumentasi ini mematahkan tuduhan Muktazilah dan Jahmiyah bahwa Al-Quran adalah makhluk.
Imam Ahmad meneruskan dengan memberi peringatan terhadap orang yang menyuarakan kemakhlukan Al-Quran:
“Jika mereka mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, berarti mereka juga beranggapan bahwa Asma Allah juga makhluk, ilmu Allah juga makhluk. Akan tetapi banyak orang yang menganggapnya remeh. Mereka mudah mengatakan Al-Quran makhluk dan menyangka bahwa hal itu tidak ada masalah, padahal di dalamnya ada muatan kufurnya.”
Dari keterangan diatas, masihkah orang yang menuduh Imam Ahmad bin Hanbal tidak rasional dalam mengatakan bahwa Al-Quran bukan makhluk dapat dipertanggungjawabkan pernyataannya?
Ikhtitam
Dengan penjelasan singkat diatas, jelas bahwa penisbatan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai salah satu pelopor gerakan Salafiyah merupakan penyimpulan tergesa-gesa tanpa melihat lebih dalam keterangan-keterangan ulama. Hal ini begitu mudah terekspos terutama di dunia akademik perkuliahan karena jargon yang selalu dikoar-koarkan, “makanlah ilmu apapun sebanyak-banyaknya dan berwacanalah sebebas-bebasnya.”
Akhirnya, kami selalu memohon kepada Allah Ta’ala untuk selalu meneguhkan hati dan ta’alluq kami kepada ulama-ulama yang istiqamah dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dan dihindarkan dari berbagai rekayasa yang menjauhkan kami darinya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. WaLlahu A’lam.
** Santri Ribathdeha