KEPEMIMPINAN NON MUSLIM; SUMBER MALAPETAKA

fb_img_1470201329598.jpgfb_img_1470201335158.jpgfb_img_1470201337460.jpg

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ  وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ الله وَعَلى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاه، أَمَّا بَعْدُ:
Pengangkatan non-Muslim sebagai pemimpin masyarakat Muslim di Indonesia selalu menjadi topik yang ramai dibicarakan, apalagi di hari-hari menjelang pemilihan wakil rakyat baik daerah maupun nasional. Terlebih lagi, akhir-akhir ini ramai diberitakan oleh media publik tentang pencalonan non-Muslim sebagai pemimpin daerah yang mendapatkan dukungan dari beberapa partai politik besar dan sebagian masyarakat kelas bawah yang (katanya) mendapat gelontoran dana yang cukup besar hingga miliaran rupiah.
Selain itu, diberitakan pula secara massif di media tentang beberapa figur non-Muslim yang ‘sowan’ ke berbagai pondok pesantren dan ndalem kiai-kiai sepuh, yang (katanya lagi) bertujuan untuk membawa aspirasi para ulama dan umat Islam pada umumnya. Beberapa kalangan yang di’sowan’i ini pun menyambut dengan begitu meriah, bahkan seringkali terlihat kebablasan seperti foto-foto yang beredar di media tentang santriwan-santriwati yang mencium tangan laki-laki non-Muslim tersebut dan sebagainya.
Tak mau kalah, beberapa kalangan akademisi dan ‘tukang nulis’ pun aktif menulis berbagai buku dan artikel yang dimuat di media-media nasional baik cetak maupun elektronik. Topiknya seragam, tentang relevansi dan kelayakan non-Muslim sebagai pemimpin masyarakat Muslim Indonesia. Berbagai argumen dan logika pun dimainkan dan disuguhkan kepada masyarakat, bahkan nash-nash Al-Quran Hadits pun diotak-atik sekiranya dapat menjadi justifikasi umat Islam untuk mendukung calon pimpinan non-Muslim.
Padahal hanya segelintir calon kepala daerah yang status agamanya bukan Islam, itupun satu nama diantaranya sudah dikenal masyarakat sebagai ‘buldoser’ penghancuran perumahan warga miskin, ‘mulut jamban dan babi’ yang suka melegalkan alkohol, ‘pejuang tahun baru’ yang alergi takbir keliling, ‘penyeru natal’ yang jijik hari raya kurban, dan seterusnya. Namun media publik regional maupun nasional begitu semangat memberikan pencitraan dan ‘kultus sosial’ terhadap sosok tersebut, seakan ada kebutuhan mendesak agar masyarakat Muslim Indonesia mau memilih calon kepala daerah yang bukan Muslim.
Apa jadinya jika DKI Jakarta yang terkenal kuat Islamnya dengan para habaib dan tokoh-tokoh betawi yang gigih memberantas kemaksiatan, melestarikan budaya keislaman dipimpin oleh orang non muslim semacam Ahok yang taat kepada aturan manusia, tempat-tempat maksiat akan semakin merajalela, prostitusi akan semakin vulgar, pendirian gereja dan tempat-tempat ibadah non muslim lainnya akan semakin dipermudah izinnya, situs-situs Islam akan dihilangkan seperti kasus makam Mbah Priok, kegiatan-kegiatan majlis ta’lim, maulid akan dipersempit. Mari kita berkaca dengan kejadian-kejadian yang dialami oleh masyarakat Islam di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh non muslim.Warga Jakarta juga harus melihat sejarah, betapa banyak kekayaan dan aset negara yang dikuasai dan digondol oleh etnis Cina dan keturunannya.
Kebijakan-kebijakan Ahok ternyata sangat merugikan umat Islam. Ahok menghancurkan masjid Baitul Arif di Jatinegara sehingga warga setempat tidak bisa shalat Jumat dan melakukan kajian Islam, kemudian dibangunkan Rumah Susun Jatinegara di atas tanah wakaf masjid tersebut. Ahok juga menghancurkan masjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan dalih akan direnovasi, padahal rencananya ingin dibuat Gedung Fakultas Film IKJ dan taman di atasnya, serta belum ada pembangunan masjid kembali sampai sekarang. Ahok mengganti para pejabat dan kepala sekolah Muslim dengan orang-orang Cina kafir seperti lurah Susan, lurah Grace, dan sebagainya. Padahal, mayoritas rakyat Jakarta adalah Muslim. Ahok mengeluarkan aturan mengganti busana Muslim di sekolah-sekolah BKI setiap Jumah lalu diganti dengan baju Betawi. Ahok Melarang umat Islam melaksanakan takbir keliling ketika malam Idul Fitri dengan alasan merusak lingkungan dan kebersihan. Ahok melegalisasi lokalisasi dan miras pada saat gubernur provinsi lain membuat perda anti-miras dan lokalisasi dan kerap melakukan razia. Ahok mendukung Miss World bahkan bangga jika Jakarta jadi tuan rumah final Miss World. Ahok mendukung wacana penghapusan kolom agama di KTP. Ahok bilang ayat suci wajib tunduk pada ayat konstitusi (apa ia niru si Nusron Wahid?). Ahok juga menentang manifesto partai Gerindra tentang pemurnian agama dari aliran sesat. Ahok melarang Tabligh Akbar karena alasan membuat macet.
Jakarta dibawah kepemimpinan Ahok menjadi carut marut, berbagai piala kegagalan diraih Ahok selama memimpin Jakarta, diantaranya adalah Rakyat DKI nganggur kian banyak, Rakyat DKI miskin kian banyak, Kesenjangan golongan kaya dan miskin melebar, Pertumbuhan ekonomi DKI terus menurun, DKI gagal meraih penghargaan “Adipura”, Lalu lintas kota DKI paling “macet” sedunia, Jumlah titik “banjir” belum berkurang signifikan, Realisasi Anggaran Belanja rendah, Pembangunan infrastruktur terhenti, Kualitas manajemen dan perlindungan asset Pemprov DKI rendah, Ahok lebih memihak kepentingan investor China dari pada rakyat dalam kasus Reklamasi. (Sumber; NSEAS Network for South East Asian Studies).
Ahok adalah seorang Tionghoa plus non-Muslim yang berarti memiliki status minoritas ganda. Di Indonesia, sangat sensitif isu SARA dimana minoritas Cina yang menguasai ekonomi kini merambah politik dan sebagai bangsa tua dengan peradaban tua, kaum keturunan Cina menggunakan media dan slogan pluralisme untuk berkuasa.
Masyarakat Indonesia yang umumnya Muslim dan miskin, kini seakan menyimpan bara dalam sekam terkait soal kesenjangan sosial dan ketidakadilan. Kasus korupsi Djoko Chandra, Arthalytha Suryani alias Ayin, Hartati Murdaya dan Syamsul Nursalim dan seterusnya membuat stigma negatif atas keturunan Cina. Sementara semakin jelas bahwa golongan menengah pribumi sangat kecil dibandingkan dominasi ekonomi keturunan Cina, sehingga Demokrasi di Indonesia rawan kekerasan dan kekosongan, hampa makna.
Kini semua orang lagi tertuju kepada pembahasan seorang China Hary Tanoesoedibjo, pengusaha muda yang kini menguasai jaringan televisi, radio dan media cetak. Hary disorot karena eksekutif dari salah satu perusahaannya juga disebut-sebut terlibat dalam kasus pajak. Ada yang beranggapan, pengusaha sukses ini boleh jadi semakin percaya diri karena hampir semua bisnis yang ditanganinya berhasil. Ia berhasil membangun kerajaan media dalam waktu yang relatif sangat singkat. Kurang dari 10 tahun. Kemudian ada Sanyoto Tanuwidjaya pemilik PT Great River, produsen pakaian bermerek papan atas, Sanyoto meninggalkan Indonesia setelah menerima penambahan kredit dari bank pemerintah.

Pasca-kejatuhan rezim Orde Baru, muncul lagi pengusaha China yang membawa kabur uang dalam jumlah yang luar biasa besarnya. Ada Hendra Rahardja bekas pemilik Bank Harapan Santosa yang kabur ke Australia setelah menerima uang dari Bank Indonesia lebih dari Rp1 triliun. Lihat saja di era pemerintahan Orde Baru. Sejumlah pengusaha keturunan China membuat berbagai ulah merugikan negara dan bangsa Indonesia, tanpa merasa bersalah.
Eddi Tanzil di era awal 1990-an, membobol kas Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar Rp1,5 triliun. Uang itu dibawa kabur ke luar negeri, tapi di negeri mana uang itu disimpan, tidak ada yang tahu. Yang pasti uang itu jumlahnya sangat fantastis. Kalau pembobolan itu disamakan dengan perampokan, maka apa yang dilakukan Eddi Tanzil merupakan salah satu perampokan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia bahkan mungkin di dunia. Yang pasti kalau uang itu dibawa ke luar negeri, tentu saja terlebih dahulu dikonversi ke mata uang dolar. Dan coba reka-reka berapa kira-kira nilainya? Ketika pembobolan itu terjadi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika masih cukup tinggi- sekitar Rp1.500 per dollar. 

Sementara itu nilai tukar rupiah pada posisi sekarang sudah mengalami depresiasi lebih dari 600%. Ini berarti dana yang dibawa kabur Eddi Tanzil tersebut jika dinilai pada 2012 ini, sudah setara dengan Rp9 triliun, lebih besar dari skandal Bank Century (Rp6,7 triliun) (Sumber: Buku kami yang berjudul Konspirasi Kaum liberal dalam menghancurkan umat Islam)
Cerita dan kejadian di atas mestinya dibuat pelajaran bagi masyarakat ibu kota. Bukan tidak mungkin Ahok juga memiliki watak bandit kaum tionghoa yang telah diterangkan di atas. Yaitu ketika mereka memiliki kewenangan dan kekuasaan, mereka akan melakukan apapun demi kepentingan pribadi. Masa bodoh dengan urusan partai, masyarakat apalagi negara. Mandulnya KPK dalam kasus korupsi Pembelian tanah Sumber Waras yang menyeret gubernur Jakarta, kebijakan amnesti terhadap mafia pajak, dan dipecatnya Menteri Kemaritiman Rizal Ramli oleh Jokowi pasca berseteru dengan Ahok karena menghentikan proyek Reklamasi menjadi bukti nyata betapa kuatnya cengkeraman Geng 9 Naga wa akhowatiha pada pemerintahan saat ini.
Gejala yang menambah keprihatinan umat Islam Indonesia saat ini adalah munculnya oknum-oknum yang mengaku intelektual muslim, pimpinan ormas Islam, tokoh panutan bahkan kiai sebagai pendukung, pembela dan budak pesuruhan Zionis-Salibis-Komunis-China. Oleh karena itu, marilah semua umat Islam beragama yang sesuai tuntunan Rasulullah SAW, memahami syari’at Islam sesuai arahan ulama salafussholih Ahlussunnah wal jama’ah dan kembali kepada jalan mereka dengan selalu mendukung dan memperjuangkan pemimpin umat dari orang-orang muslim yang bertakwa serta menyakini pemimpin mukmin mendatangkan Rahmat Allah SWT sedangkan pemimpin kafir membawa laknat dan menurunkan adzab Allah SWT. Wallahu A’lam

 JAWABAN ILMIAH
ATAS ARGUMEN NGAWUR KAUM LIBERALIS-KOMUNIS
MELEGALKAN KEPEMIMPINAN NON MUSLIM DI INDONESIA

1. Lafazh Auliya dalam Al-Qur’an Bukan Berarti Pemimpin
Ini adalah alasan yang paling sering digunakan untuk menolak larangan memilih pemimpin non-muslim. Berangkat dari keterangan ulama tentang makna wali/ auliya dalam Al-Qur’an, para Liberalis-Komunis menggunakannya sebagai dalil untuk menyalahkan ulama yang melarang umat Islam memilih non-Muslim jadi pemimpinnya.
Perlu dicatat, kewajiban mengangkat pemimpin muslim sudah dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ )المائدة : 51(
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin-mu; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. (QS. Al-Ma-idah: 51)
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا )النساء : 141(
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 141)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا  )النساء : 144(
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang yang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An-Nisa’: 144)
فَإِنَّ اللهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ )البقرة : 98(
“Sesungguhnya Allah SWT adalah musuh orang-orang kafir” (QS. An-Nisa’: 144)
عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً  )رواه البخاري(
“Dari Abu Bakroh RA, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Tidak akan berhasil (baik) suatu kaum yang menguasakan urusannya kepada seorang perempuan (menjadikannya pemimpin)”. (HR. Imam al-Bukhori)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ» )رواه الترمذي(
“Dari Abu Sa’id al-Khudri RA, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah berkawan kecuali dengan orang mukmin, dan janganlah memakan makanmu kecuali orang yang bertakwa”. (HR. Imam at-Tirmidzi)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :« يَا عَبْدَ اللهِ أَىُّ عُرَى الإِسْلاَمِ أَوْثَقُ؟ ». قَالَ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ :« الْوَلاَيَةُ فِى اللهِ الْحُبُّ فِى اللهِ وَالْبُغْضُ فِى اللهِ ». (رواه البيهقي)
“Dari Abdullah bin Mas’ud RA, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Abdullah, apa tali Islam yang paling kokoh?, aku menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui, kemudian Rasulullah SAW bersabda: Yaitu al-walayah fillah (cinta dan benci karena Allah) ”. (HR. Imam al-Baihaqi)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَباسْ -رضي الله عنهما- : قال: سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله -صلى الله عليه وسلم- اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا هَادِيْنَ مُهْتَدِيْنَ، غَيْرَ ضَالِّينَ وَلَا مُضِلِّينَ، سِلْمًا لِأَوْلِيَائِكَ، وَعَدُوًّا لِأَعْدَائِكَ، نُحِبُّ بِحُبِّكَ مَنْ أَحَبَّكَ، وَنُعَادِي بِعَدَاوَتِكَ مَنْ خَالَفَكَ (رواه الترمذي)
“Dari Abdullah bin Abbas RA, berkata saya mendengar Rasulullah SAW bersabda (dalam do’anya): “Ya Allah, jadikanlah kami sebagai orang-orang yang memberi petunjuk (kepada selain kami) dan dianugerahi petunjuk (dari Engkau), janganlah Engkau jadikan kami termasuk orang-orang tersesat lagi menyesatkan, dan jadikanlah kami sebagai orang-orang pendamai kepada setiap kekasih-Mu dan (sebagai) pemusuh kepada setiap musuh-Mu. Dengan dasar cinta-Mu kami dapat mencintai setiap orang yang mencintai-Mu, dan karena benci-Mu (pula) kami memusuhi setiap orang yang mendurhakai-Mu”. (HR. Imam at-Tirmidzi)
Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits di atas secara tegas menunjukkan berkawan dan berteman akrab (teman curhat, teman spesial, dan sejenisnya) dengan orang-orang kafir saja dilarang oleh agama Islam, apalagi menjadikan mereka sebagai pimpinan umat Islam!  Kemudian dijelaskan pula, Rasulullah SAW memastikan bahwa suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pimpinannya, urusan mereka tidak akan pernah baik alias tidak akan memperoleh keberhasilan, apalagi menjadikan kafir yang notabenenya musuh Allah SWT sebagai pimpinan. Siapapun yang memaknai lafazh Auliya’ dengan arti sahabat karib dengan niatan membolehkan kepemimpinan non muslim berarti ia telah mengaburkan syari’at Islam, naudzubillah.

2. Para Khalifah Islam juga Mengangkat Non-Muslim sebagai Pejabat Negara
Argumen ini sering digunakan oleh kaum Liberalis-Komunis, meski kebanyakan mereka tidak dapat menjelaskan secara detail apa yang terjadi sebenarnya. Diantaranya mereka menulis:
“Khalifah Umar sendiri membentuk orang-orang yang mengurusi dewannya dari orang-orang non-Muslim. Ketentuan ini dijalankan oleh pemerintahan Bani Abbas dan lain sebagainya dari kalangan Raja-raja Islam. Mereka mempercayakan jabatan-jabatan kenegaraan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.” (jokowipresiden2014.blogspot.com/kompasiana.com)
Pernyataan seperti diatas sebenarnya bermasalah dari beberapa sisi;
Pertama, mayoritas kaum Liberalis-Komunis hanya menukil pernyataan-pernyataan global seperti diatas tanpa memberikan keterangan detail tentang fenomena yang dia angkat dan referensi yang jelas dari literatur-literatur sejarah Islam, sehingga validitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, dari beberapa data sejarah yang ditemukan malah bertolak belakang dengan apa yang dikatakan kaum Liberalis-Komunis diatas. Al-Kandahlawi menjelaskan:
وأخرج ابن أبي حاتم عن عياض أن عمر رضي الله عنه أمر أبا موسى الأشعري رضي الله عنه أن يرفع إليه ما أخذ وما أعطى في أديم واحد – وكان له كتاب نصراني – فرفع إليه ذلك، فعجب عمر وقال: إن هذا لحفيظ، هل أنت قارىء لنا كتاباً في المسجد جاء من الشام؟ فقال: إنه لا يستطيع، فقال عمر: أجنبٌ هو؟ قال: لا بل نصراني، قال: فانتهرني وضرب فخذي ثم قال: أخرجوه ثم قرأ {يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآء} (سورة المائدة، الآية: 51) (الكاندهلوي, حياةالصحابة, ص : 558)
“Khalifah Umar ketika bertanya kepada Harits bin Muawiyah tentang kondisi masyarakat Syam ia berpesan kepadanya, “Jika kalian duduk bersama dengan non-Muslim, makan dan minum bersama mereka, maka kalian tidak akan pernah menjadi baik sampai kalian meninggalkannya. Di lain waktu, ketika Abu Musa al-Asy’ari mengangkat sekretaris dari seorang Kristen, Khalifah Umar langsung menghardik Abu Musa dan menampar wajahnya seraya berkata, “Keluarkan dia dari sini!” lalu beliau membaca Firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang beriman, jangan kalian menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia.” (QS. Al-Maidah: 51) (al-Kandahlawi, Hayah al-Shahabah, juz 4 hlm. 558)
Tidak hanya ini, khalifah Ali bin Abu Thalib juga menulis surat kepada gubernur Umar bin Maslamah yang isinya adalah peringatan kepadanya agar tidak mengangkat non-Muslim sebagai pejabat pemerintahan, lalu membaca Firman Allah QS. Al-Maidah: 51 dan QS. Ali Imran: 118. (al-Ya’qubi, al-Tarikh, juz 1 hlm. 189) Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga menulis peringatan yang sama kepada para gubernurnya. (Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, juz 2 hlm. 372) Khalifah Imaduddin Zanki juga memperingatkan ketika berdialog dengan Qadli Kamaluddin, “Musuh ini benar-benar berkuasa di berbagai negara. Jika mereka sampai merebut Halab maka tidak akan ada lagi Islam di tanah Syam. Bagaimanapun juga kaum Muslimin lebih berhak atas tanah Halab daripada kaum kafir.” (al-Daulah al-Zankiyyah, hlm. 187)
Perlu kami informasikan, bahwa pemerintahan Abbasiyah itu sistemnya Kerajaan/ monarki, dimana seorang raja akan mudah tertipu dengan pencitraan orang-orang disekitarnya, siapapun yang munduk-munduk dihadapannya seraya menunjukkan loyalitas tinggi tentu ia akan mendapatkan kedudukan terdekat di samping raja, sehingga besar sekali potensi Kafir ahli kitab menyusup di pemerintahan Abbasiyah, terlebih pada periode Al-Ma’mun yang notabenenya Mu’tazilah. Para ulama di zaman itu tidak melawan karena terpaksa dan ditekan pemerintah zhalim, buktinya mereka tetap menjelaskan hukum keharaman mengangkat pejabat non muslim dalam kitab-kitab mereka.
Dan lagi, argumen yang dikemukakan para Liberalis-Komunis hanya sebuah fakta sejarah bukan dalil syar’i berupa al-Qur’an, al-Hadits atau Aqwalul ulama, sehingga hal ini tidak bisa menjadi hujjah mu’tabaroh. Yang sangat memprihatinkan, masyarakat sekarang lebih percaya kepada orang-orang yang berdalil dengan sejarah dan menganggapnya sebagai ulama panutan, naudzubillah! Beginilah akibatnya jika orang-orang bodoh mengaku alim lalu berdalil!  

3. Umat Islam Wajib Patuh dan Membela Pemerintahan Non-Muslim
Demikian pernyataan kaum Liberalis-Komunis dalam sebuah artikel di situs nasional. Penulis artikel tersebut menggunakan justifikasi keputusan Muktamar NU di Banjarmasin pada tahun 1936 yang mendasarkan pada keterangan kitab Bughyah al-Mustarsyidin.
“Sejauh tidak menganjurkan kemunkaran dan menghalangi hak umat Islam menjalankan ibadah, umat Islam wajib patuh dan bahkan membela pemerintahan non-Muslim jika ada serangan dari pihak luar. Hal ini diputuskan oleh Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Rujukannya, waktu itu, kitab Bughyatul Mustarsyidin, karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawi,” katanya. (muslimedianews.com)
(مسألة : ي) : كل محل قدر مسلم ساكن به على الامتناع من الحربيين في زمن من الأزمان يصير دار إسلام ، تجري عليه أحكامه في ذلك الزمان وما بعده ، وإن انقطع امتناع المسلمين باستيلاء الكفار عليهم ومنعهم من دخوله وإخراجهم منه ، وحينئذ فتسميته دار حرب صورة لا حكماً ، فعلم أن أرض بتاوي بل وغالب أرض جاوة دار إسلام لاستيلاء المسلمين عليها سابقاً قبل الكفار. (بغية، ص: 254)
(Masalah Ibn Yahya): Setiap daerah dimana Muslim tinggal disitu dan mampu menolak serangan non-Muslim dalam zaman tertentu, maka daerah tersebut menjadi dar al-Islam (negara Islam) yang berlaku hukum-hukum Islam di dalamnya pada zaman tersebut dan zaman-zaman sesudahnya, meskipun pertahanan kaum Muslimin di sana terputus sebab mereka dikuasai non-Muslim, dilarang masuk kesana, dan diusir dari tanah tersebut. Pada saat itu maka daerah tersebut dinamai dar al-harb (daerah perang) namun hanya secara formalitas bukan secara hukum. Maka dipahami bahwa tanah Betawi bahkan kebanyakan daerah Jawa merupakan negara Islam karena kaum Muslimin telah berkuasa sebelum datangnya non-Muslim. (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 254)

Jika ibarat diatas digunakan sebagai alasan untuk mendukung kepemimpinan non-Muslim, maka akan menjadi sangat bermasalah. Karena ibarat diatas sama sekali tidak membahas tentang kebolehan ataupun kewajiban umat Islam memilih ataupun membela pimpinan non-Muslim baik secara eksplisit (manthuq sharih) maupun implisit (manthuq ghairu sharih dan mafhum). Meskipun Indonesia tetap dinamakan negara Islam yang wajib dibela meskipun dikuasai oleh pimpinan kafir, bukan berarti umat Islam boleh memilih non-Muslim sebagai pemimpinnya apalagi sampai mewajibkan patuh dan membela mereka. Kesimpulan kaum Liberalis-Komunis diatas mengada-ada dan tidak ada korelasi sama sekali.
Jika mau menelaah keterangan Bughyah al-Mustarsyidin lebih lanjut, kita akan dapat sesuatu yang bertolak belakang dengan omongan kaum Liberalis-Komunis diatas. Sayyid Ba’alawi sendiri menegaskan bahwa umat Islam diperintahkan untuk melengserkan calon wakil rakyat non-Muslim yang membangkang dari ketaatan imam yang Muslim, tidak wajib taat kepadanya, bahkan tidak boleh memilihnya dalam keadaan tidak darurat. (Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 248)
أما ذو الشوكة الكافر فإن كان منقادا لأمر نائب البلد المسلم خوفا أو وفاءا بعهد أو احتشاما فتولية القضاء بإذن ذلك النائب أو الكافر الذي عهد إليه تولية القضاء تصريحا أو تلويحا، وإن لم يكن منقادا لأمر النائب فتولية القضاء لأهل الحل والعقد ولا يتوقف على إذن الكافر إذ هم مأمورون بخلعه ولا تلزمهم طاعته بل لا يجوز الانقياد له اختيارا ويلزمهم إقامة إمام يخرجه،نعم لو ولى الكافر قاضيا ولم يمكن إلا طاعته للخوف نفذت توليته للضرورة  (بغية، ص: 248)
Dengan demikian, semakin jelas terlihat bagaimana lihainya permainan dalil yang digunakan oleh para Liberalis-Komunis. Memelintir dalil dari yang semestinya merupakan keahlian mereka yang mesti diwaspadai betul-betul oleh umat Islam.

4. Kepemimpinan dalam Islam yang Penting adalah Keadilan
Argumentasi diatas disebutkan dalam artikel yang memuat tulisan diatas, “Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa syarat seorang pemimpin ada dua, pertama orang yang kuat dan kedua orang yang amanah. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa pemimpin non-muslim yang adil lebih baik daripada pemimpin yang beragama Islam namun tidak mampu berlaku adil.” (m.detik.com)
الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر لابن تيمية ج ١ ص ٣٠
“وأمور الناس تستقيم في الدنيا مع العدل الذي فيه الاشتراك في أنواع الإثم أكثر مما تستقيم مع الظلم في الحقوق وإن لم تشترك في إثم، ولهذا قيل: إن الله يقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة، ولا يقيم الظالمة وإن كانت مسلمة. ويقال: الدنيا تدوم مع العدل والكفر، ولا تدوم مع الظلم والإسلام”.
Ucapan Ibn Taimiyah dalam kitab al-Amru bi al-Ma’ruf ini termasuk Syawadzdzi ibn Taimiyah (pendapat-pendapat syadz Ibn Taimiyah), banyak sekali ucapan ngawur Ibn Taimiyah yang tidak sah dibuat pijakan dalil, seperti pendapatnya dalam masalah talak, ia menyatakan ‘jatuh talak satu’ bagi istri yang ditalak suaminya tiga talakan dalam satu majlis, ia juga membolehkan pajak (al-Fatawa al-Kubro li ibn Taimiyah) dan masih banyak kesesatan-kesesatan Ibn Taimiyah, seperti yang diterangkan dalam kitab kami at-Tahdzirul Mubin, kitab shorihul bayan karya Syaikh Abdulloh al-Harrori, dan lain sebagainya, inilah kecorobahan Ibn Taimiyah dan sebagai bukti kurang wira’i/ berhati-hati dalam berpendapat.
Logika Ibn Taimiyah yang menyatakan sebuah Negara akan tenteram sejahtera apabila keadilan diterapkan meski pemimpinnya non muslim itu jelas bertentangan dengan al-Qur’an, pasalnya didalam kitab-kitab tafsir telah maklum bahwa tiang utama keadilan adalah tauhid, sehingga mustahil non muslim memiliki sifat keadilan. Wallahu a’lam

Sarang, 26 Syawwal 1437 H.

KH. MUHAMMAD NAJIH MAIMOEN

Tinggalkan komentar