Seminar Kebangsaan di PP. Sidogiri, Syaikhina KH. M. Najih Maimoen: Ketika Kiai dan Santri Ikhlas Berkiprah Pasti Ada Barokahnya

Pada hari Kamis kemarin tepatnya tanggal 16 Sya’ban 1439 H/2 Mei 2018 H, Syaikhina Muhammad Najih untuk kesekian kalinya diundang oleh Pondok Pesantren Sidogiri untuk menjadi narasumber dalam acara seminar yang diselenggarakan oleh panitia. Kali ini beliau diundang dalam acara Daurah Kebangsaan bertajuk “Revitalisasi Ghirah Islamiyah-Wathoniyah” yang bertempat di aula sekretariat PP Sidogiri. Acara ini merupakan salah satu rangkaian acara dalam rangka Hari Ulang Tahun PP Sidogiri ke-281 dan Ikhtibar Madrasah Miftahul Ulum ke-82. Selain Abah Najih, tokoh lainnya yang diundang sebagai narasumber adalah Prof. Ahmad Mansur Suryanegara rektor Universitas Padjajaran sekaligus penulis buku sejarah monumental “Api Sejarah” yang ramai menjadi bahan perbincangan baru karena memuat banyak fakta dan penafsiran sejarah tentang perjuangan ulama dan santri dalam mengembangkan Islam di Nusantara mulai zaman kerajaan Islam hingga masa kemerdekaan dan modern di Indonesia.

Dalam daurah kebangsaan tersebut, Syaikhina Najih banyak menambahi dan melanjutkan perbincangan tentang sejarah ulama dan santri yang berkiprah dalam sejarah mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah disampaikan terlebih dahulu oleh Profesor Mansur. Berikut kutipan kuliah beliau berdurasi kurang lebih satu setengah jam tersebut:

Ulama yang Memperjuangkan Indonesia sudah Puncak

“Walhasil, dari tulisan yang saya konsepkan itu, bahwa kami atau saya Muhammad Najih punya asumsi atau pemikiran bahwa para ulama yang mempertahankan Indonesia dan kemerdekaan Indonesia ini adalah ulama-ulama yang menurut saya sudah puncak baik keilmuannya, kearifannya, kewirainya, dst. Disana ada Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Ini merupakan ulama besar dan mutakharrij (alumni) pondok-pondok atau kiai-kiai besar, wa bil khusus KH Kholil Bangkalan. Ketika di Makkah Mukarramah beliau juga mengaji pada masyayikh besar. Sebelum KH Hasyim Asy’ari ada Kiai Nawawi Banten yang juga murid KH Kholil Bangkalan. Ini semuanya memperjuangkan untuk kemerdekaan, artinya mengusir Belanda dengan cara masing-masing. Kalau Kiai Nawawi dengan kitabnya yang penuh dengan Ghirah Islamiyah Imaniyah, yakni bughdl (benci) kepada kufur. Sedangkan Kiai Kholil dengan mengajar dan mengisi pondok pesantren dengan ngajar atau ngaji yang salaf dan jauh dari ilmu umum dan sekolah, dst. Namun juga ada yang masuk ke pemerintahan, ada yang sekolah umum seperti Muhammad Hatta. Muhammad Hatta itu putranya seorang alim, lalu belajar di sekolah Belanda. Mr. Muhammad Roem juga santri tapi belajar atau sekolah di Belanda, dan menurut saya orang yang berjasa adalah Mr. Roem itu.
Saya pernah membaca sejarah, entah di buku Api Sejarah ini ada atau tidak, bahwa Pancasila adalah buatan orang macam-macam, tapi yang pokok yang saya tahu itu dari Soekarno. Dia menggali dari seorang pengarang dari zaman Majapahit. Pancasila sudah ada zaman Majapahit. Jadi konsepnya Pak Karno itu bukan “Ketuhahan yang Maha Esa” tapi “Peri Ketuhanan”, “Peri Kemanusiaan”, “Peri Keadilan”, dst. Hanya “Pri Ketuhanan”, yakni maksudnya bangsa Indonesia itu punya tuhan, tapi yang dari Hindu Budha ketuhanan aslinya yang punya tuhan, entah itu Allah Ta’ala atau yang lainnya. Yang penting ada tuhannya. Dan memang tuhan terbesar itu Allah. Sang Hyang Widhi dalam bahasa mereka. Jadi asalnya hanya “Pri Ketuhanan”, lalu oleh Mr. Muhammad Roem ditambah “Yang Maha Esa” yang bermakna tauhid. Andaikan tidak ada Mr. Roem maka mungkin hanya “Pri Ketuhanan” atau “Ketuhanan”, belum sampai tauhid. Dia asalnya dari Pekalongan, dan Pekalongan itu terkenal kota santri.

Pancasila Tidak Mungkin Komunis

Saya baca juga di facebook entah tulisannya siapa, dia merangkum pidatonya Gus Dur mulai akhir 80-an atau awal 90-an ketika awal dia jadi ketua PBNU. Disitu ada pernyataan, saya perhatikan, bahwa Pancasila adalah kompromi dari beberapa ideologi. Ada Islam, kapitalis, sosialis, dan komunis. Jadi keadilan sosial itu adalah ideologi komunis, sosialis, atau sak bangsane itu.
Akan tetapi walau begitu, kita harus bersyukur bahwa yang ikut menunggu panitia kemerdekaan yang membahas asas-asas negara seperti yang disebut Pak Mansur tadi adalah seperti Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah, dst. Artinya dari kiai. Perwakilan Kristen hanya ada satu. Sesuatu yang melibatkan ulama atau kiai menurut persepsi kita kaum santri atau bahasa sekarang kaum nahdliyyin itu pasti ada baiknya, tidak mungkin sesat. La tajtami’u ummati ‘ala dlalalah (umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan). Walaupun disitu campur ideologi, namun ulama kita mesti mentakwil atau punya takwilan ke Islam. Artinya tidak mungkin memaknai “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dengan sistem komunis. Manusia tidak punya hak milik, semua milik negara atau pemerintah. Kekayaan miliki pemerintah. Ini gak mungkin, kan? Mereka adalah orang yang baca kitab Fathul Qarib, Fathul Mu’in, dan Fathul Wahhab. Masa’ menafikan milkiyyatul afrad (kepemilikan pribadi)? Ini hal yang mustahil. Konsep komunis dan sosialis itu gak mungkin, itu permainan dari yang punya konsep. Kepemilikan mau dihilangkan itu gimana? Tapi memang Islam tidak senang dengan monopoli, ketidakpedulian dengan rakyat, dan tidak mau membayar zakat. Jadi keadilan sosial itu ya zakat bagi yang Muslim. Yang kaya memberi zakat kepada fakir miskin yang Muslimin. Kita husnnuzzhan begitu, kan? Masa’ kiai nasionalismenya mengalahkan keagamaaanya? Ini kan tidak mungkin. Mereka seperti difirmankan Allah Ta’ala:
فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا [الروم : 30]
“Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. Al-Rum: 30)
Mereka dididik di pesantren yang bermadzhab Syafi’i, dan berakidah tauhid. Laa ilaha illaLlah, kita harus menyembah Allah. Muhammad RasuluLlah, kita harus mematuhi perintah rasul dan mengikuti jejaknya.
Adapun KH Wahid Hasyim dan sebagainya sudah memperjuangkan agar syarat presiden harus Islam yang ditolak oleh kaum nasionalis. Itu ngalahnya beliau, bukan ikhtiar. Kan sudah memperjuangkan. Banyak musyawarah yang condong dilobi oleh kaum nasionalis sehingga bisa kalah. Bisa juga pakai uang dari Jepang atau Belanda, dst.
Kemudian ulama kita tadi disampaikan oleh Profesor Mansur memperjuangkan NKRI. Konferensi Meja Bundar itu saya kira pimpinannya mungkin Pak Natsir, tapi di belakangnya atau yang mensupport agar Indonesia diakui dan memiliki kekuasaan itu ada tokoh lagi. Saya lupa siapa namanya, namun Pak Natsir tidak sendirian.

Surabaya, Peristiwa 10 November, dan Hari Santri

Jadi perjuangan kita ini sudah sangat luar biasa. Kemudian KH Hasyim Asy’ari berfatwa wajib jihad, ini karena beliau tahu bahwa Sekutu baik Inggris, Jerman, Itali, dan seterusnya itu ingin menguasai kembali Surabaya. Sedangkan Surabaya adalah simbol Aswaja sekaligus ibukota Walisongo dan komunitas pengikutnya. Ada Sunan Ampel, walaupun bukan yang pertama dari Walisongo tapi dia adalah penunggul. Dia yang benar-benar menguak dakwah kemana-mana serta mendirikan pesantren Ampel Denta yang sekarang masih eksis, artinya syi’arnya masih bisa kita rasakan sampai sekarang. Ini kalau jatuh di tangan Sekutu maka pasti daerah lain akan gampang dikuasai.
Jadi orang Belanda dan Kristen sudah mempelajari mana satu daerah yang sangat strategis dimana kalau dikalahkan pasti yang lain akan ikut. Ini sudah tau sekali. Kekuatan di Jawa ini adalah Surabaya.
Saya sudah pernah diwawancarai oleh majalah Ijtihad Sidogiri, bahwa Hari Santri itu bahkan Hari Ulama Kiai itu tanggal 10 November (Hari Pahlawan), tapi di sejarah disebut “Arek-arek Surabaya”. Itu sebenarnya santri yang berani dan jadug (sakti). Yang saya ketahui, yang merobek bendera Belanda itu adalah mertuanya KH Hamid Baidhawi Lasem dari Bojonegoro. Dulu beliau pernah belajar di Pondok Pesantren Termas. Kamarnya itu angker sekali sampai sekarang. Beliau ahli wiridan dan jadug, jarang orang berani masuk kamar itu sampai sekarang. Dialah yang berani merobek, padahal di belakangnya ada tentara Belanda dan Sekutu yang canggih.

Bahaya Laten Komunis dan Cina

Dan perlu saya informasikan disini, pada catatan sejarah yang berbeda, saya diberitahu oleh orang Arab tapi bukan habib. Ada tamu dari Malang, waktu itu datang pada saya masih agak muda. Dia bercerita, “Ati-ati, Gus. Ada istilah bahaya laten. Ada dua, ada komunis, ada Cina. Jangan hanya PKI saja, Cina juga bahaya laten.” Dia cerita bahwa ketika Sekutu datang ke Surabaya, sebelum mereka datang itu orang-orang Cina memecah batu-batu menjadi kerikil lalu ditaburkan di depan rumah umat Islam khususnya bapak-bapak haji karena Surabaya itu tempatnya orang-orang kaya dulu. Zaman Belanda orang Islam banyak yang makmur. Makanya NU berdiri dan kiai berani mendirikan NU karena di belakang kiai banyak pak kaji-pak kaji. Mereka kaya. Bukan pak kaji sekarang yang mengantri sampai 25 tahun. Dulu mereka kaya-kaya.
Saya punya mbah, Kiai Baidhawi sebelum menikah dengan mbah saya dari Blora itu nikah dengan anak kiai yang alim, sakti, dan kaya dari Rembang. Dia berhaji dengan nyarter (menyewa kendaraan. Dia tidak mau ke Semarang, apalagi ke Jakarta. Dia menyewa kapal, kapalnya disuruh ke Rembang. Luar biasa, kayak-kayak membeli kapal. Orang zaman dulu kalau kadung kaya maka kaya sekali karena Belanda dari sisi ekonomi tidak memeras kepada pribumi secara lahiriah. Akan tetapi dia mengambil sumber daya alam tentunya seperti yang disampaikan pak Mansur yaitu dengan membangun rel-rel kereta api. Tujuannya adalah memudahkan pemantauan kiai-kiai yang ingin berjuang khususnya di kota-kota. Makanya kiai itu kebanyakan di desa, karena kalau di kota diawasi oleh Belanda. Kiai Kholil Rembang Kasingan gurunya Kiai Mahrus Lirboyo tidak boleh mengajar Tafsir Jalalain, hanya Alfiyyah saja. Karena kalau baca Tafsir Jalalain khawatir membangkitkan semangat melawan Belanda.

Belanda yang Membesarkan Komunis

Saya setuju itu. Dan menurut saya, saya tambahi, bahwa Belanda-lah yang membesarkan komunis. Jadi komunis sebenarnya kan mazhab baru, dulu-dulu tidak ada. Paham komunis dari Karl Marx. Itu buatan Yahudi. Nah, dia membesarkan komunis di Solo tepatnya. Bahkan tadi Syarikat Islam ada dua. Ada yang kanan, ada yang kiri. Syarikat Islam H. Samanhudi itu kanan, kalau yang kiri itu julukannya ASU. Artinya jadi komunis, di Solo.
Jadi komunis itu dibesarkan. Ada istilah Islam Abangan, ada istilah Islam Santri, ada istilah Priyayi. Ini semua dibesar-besarkan Belanda untuk menghancurkan santri. Snouck Hugronje ingin menghilangkan kesantrian, kemudian menguasai masalah haji dst untuk mengawasi gerakan karena takut Indonesia atau umat Islam belajar di Makkah dan menggerakkan ruh jihad melawan Belanda. Makanya tadi Kiai Nawawi tidak membuat gerakan politik. Kiai Kholil Bangkalan juga tidak. Hanya gerakan mengaji, tapi isinya adalah kita disuruh jauh dari Belanda. Kemudian bangkitlah Pergerakan Nasional.
Di sejarah-sejarah dan saya sudah pernah baca buku Api Sejarah itu sedikit, disitu diterangkan bahwa kebangkitan nasional dimulai oleh Budi Utomo. Yang bikin Ki Hajar Dewantara. Itu sebetulmnya salah sekali, karena Ki Hajar Dewantara itu bukan nasionalis. Dia itu Jawanis, fanatik Jawa. Walaumpun melawan Belanda tapi masih budaya Jawa. Namanya saja Budi Utomo, itu kan sudah kelihatan kejawaaannya. Mungkin itu gerakan nasionalis ala priyayi Jawa. Kemudian yang Islam itu SI (Syarikat Islam) yang kemudian terpecah jadi dua. Tentu yang memecah adalah Belanda, itu maklum. Liciknya Belanda untuk mengikis kesantrian. Jadi Belanda mengkader orang-orang nasionalis bahkan anak-anak kiai seperti Muhammad Hatta supaya menghilangkan jasa-jasa ulama atau santri.
Tadi saya diberitahu protokol untuk membahas setelah kemerdekaan saja. Langsung saja bahwa Kiai Kholil dan Kiai Nawawi berjuang sebagai agamis nasioanalis, artinya memperjuangkan hilangnya atau terusirnya Belanda dari Indonesia, tapi Belanda bisa terusir oleh Jepang. Dia pintar dengan membuat batalion-batalion dikuasai kiai, karena Jepang tahu dia ingin beda dengan Belanda. Tahu kalau Belanda sangat benci kiai dan santri. Santri dilatih menjadi tentara. Tapi AlhamduliLlah, justru latihan itu berdampak baik yaitu para kiai mengusir Sekutu tadi.

Kiai-Santri ketika Berkiprah Pasti Ada Barakahnya

Jadi SubhanaLlah, kiai dan santri yang liLlahi Ta’ala, tadi disebutkan tidak niat jadi PNS, itu kalau berkiprah pasti ada barakahnya. Dulu ada istilah khittah, itu kan banyak kiai masuk Golkar. Pasalnya Golkar itu tempat strategis Kristen untuk berkiprah disana, selain ada sisa-sisa PKI disitu. Jadi kelihatannya mengusir PKI tapi pimpinannya diamankan, dibawa ke Swiss. Dibawa Barat. Yang dibunuh oleh NU-Ansor-Banser itu PKI kroco-kroco, yang kelas kakap diamankan.
Walhasil, saya sampaikan kenapa PKI yang anti kiai, agama, dan pesantren kok bisa besar karena didikan dari Belanda. Kaderasisasi dari Belanda. Sekarang kita AlhamduliLlah sudah besar. sekarng ada Hari Santri. Saya takutnya Hari Santri sama dengan tadi, Jepang beda dengan Belanda. Kalau era sebelumnya, SBY dan Soeharto, tidak begitu senang santri tapi senang Islam. Tadi dikatakan Soeharto membangun seribu masjid, bahkan di Bosnia. Dia senang Islam itu tidak berarti senang kaum santri atau NU, karena dia dulu-dulunya kebanyakan berguru dari Muhammadiyah. Tapi kecilnya Soeharto itu didikan santri. Saya tahu ini karena keturunan dari kiai yang mengajarinya dari kecil itu ada sebagian yang di Sarang. Mbahnya Shalahuddin dekat jembatan Sarang itu.
Jadi kiai itu ketika bertemu Soeharto ketika pertama jadi presiden pesannya, “Hei, Harto! Niruo Sultan Agung Raja Mataram.” Makanya dia lalu membuat masjid-masjid Pancasila, walaupun bukan uangnya Pak Harto sendiri tapi hasil menyunat gaji-gaji pegawai saat itu.
Dulu kalau ada Kiai dari Golkar itu diambilkan dari dana haji yang sekarang jadi dana abadi umat, yang kepengen ditampung oleh era Jokowi untuk infrastruktur bukan untuk pendidikan. Pak Harto untuk Islam, tapi ini pengen untuk infrastuktur, untuk pembuatan jalan. Bisa-bisa nanti menyembelih kiai kalau cinanya sudah ratusan, ribuan, bahkan jutaan. Lama-lama pekerja seksual yang datang dan dijual murah. Itu merusak dan berbahaya sekali.
Jadi yang mendidik memang Belanda dengan liciknya, artinya Jepang merekrut atau menghormati kiai dengan tujuan untuk melawan Belanda kalau mereka datang. AlhamduliLlah, dengan izin Allah Hiroshima dibom dan akhirnya Jepang mundur begitu saja dengan teratur artinya pelan, namun ya masih saja. Jepang kayaknya baik dengan kaum santri, tapi tetap mereka adalah musuh. Buktinya ada Tujuh Kalimat yang disepakati oleh panitia kemerdekaan yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban mengamalkan Syariat Islam bagi pemeluknya” ini disuruh dicoret oleh jenderal Jepang. Kelihatannya baik dengan kiai, tapi hatinya tetap busuk kepada kiai dan ulama serta Islam secara umum. Ini mungkin ditekan juga oleh Amerika, karena Amerika sudah menang terhadap Jepang. Maka tadi bahasanya pak Mansur, Soekarno ketakutan. Itu menunjukkan dia juga nggak senang kiai. Dia tidak tahu bahwa Indonesia ini terjaga karena barakahnya kiai. Mereka tidak tahu, seolah-olah yang bikin Indonesia merdeka adalah nasionalis. Padahal dia ketakutan dan ragu-ragu sekali.

Hubungan Ulama dengan Peristiwa Proklamasi

Di catatan sejarah yang memaksa Soekarno proklamasi adalah mahasiswa. Ini bohong. Yang memberitahu saya adalah tetangganya Pak Mansur ini. Dia ketemu dengan Pak Mansur, lalu dia bilang bahwa yang memaksa Soekarno proklamasi adalah ulama-ulama dan kiai-kiai ajengan Sunda di Rangkasbitung. Itu tetangganya. Saya pernah kesana karena suaminya yang dari keluarga situ ada keponakan saya, lalu saya mampir.
Jadi asalnya Soekarno itu ragu. Soekarno itu pernah memang jadi menantunya HOS Cokroaminoto, tapi juga pernah jadi menantunya Belanda. Jangan dipungkiri sejarah. Akhirnya punya istri dari Jepang itu. Yang membuat Soekarno agak baik dan kenal agama adalah ibunya, karena istrinya Rahmawati aslinya dari Riau atau Jambi. Katanya masih ada trah kerajaan entah Melayu atau mana. Jadi ini yang menjadikannya masih punya kebaikan-kebaikan. Anak Soekarno Ada yang pro Hindu Budha atau PKI seperti Sukmawati, Megawati juga. Meragukan Hari Kiamat. Pesantren kita ini dianggap peramal-peramal saja, tidak tahu fakta. Lho, ente yang tidak tahu fakta bahwa Indonesia ini berdiri lewat darah para santri dan ulama. Bapak kamu ragu tentang proklamasi asalnya, yang menyuruh itu adalah dari ajengan kiai-kiai Sunda. Bahkan tetangganya pak Mansur tadi cerita, waktu malam 17 ada istighatsah supaya cepat merdeka. Pak Karno datang membawa anak perempuan. Anaknya menangis, akhirnya diberi susu oleh sebagian kiai. Susu kaleng atau apa.
Jadi kiai-kiai sangat berjasa sekali, tapi karena penulis-penulis sejarah adalah bukan kaum pesantren melainkan nasionalis bahkan ada yang PKI, akhirnya sejarah dihilangkan. Untungnya Soekarno masih hormat dengan Hasyim Asy’ari. Beliau adalah orang yang berwibawa sekali. Ketika Pak Karno jadi presiden, dia cepat-cepat ke Kiai Hasyim Asy’ari. Hubungan Pak Karno dengan Wahid Hasyim ini saingan istilahnya, jegal-jegalan. Pak Karno sering menjegal Wahid Hasyim supaya tidak jadi presiden. Tapi hubungan Soekarno dengan Hasyim Asy’ari baik sekali. Dia pernah ke Jombang. Ini yang cerita saya adalah Kiai Hamid Baidhawi, khali (paman saya) dari ibu. Ceritanya dia sowan kepada Hasyim Asy’ari, lalu Soekarno diberi kesempatan untuk sambutan atau pidato. Saking gemetarnya karena ta’zhim maka tidak berani tampil, malah berkata, “Njenengan mawon.” Akhirnya Hasyim Asy’ari memberi sambutan. Pertama kali yg dikatakan, “Wahai Soekarno! Kenimatan terbesar yang diberikan kepadamu sekarang adalah jadi presiden RI. Syukurilah.”
Untungnya disitu, akhirnya Soekarno dipesan agar alumni pesantren bisa jadi naib dan KUA di seluruh Indonesia. Akhirnya AlhamduliLlah banyak naib-baib waktu itu dari kiai karena itu instruksi dari presiden saking ta’zhimnya. Tapi kemudian ketika dilanjutkan oleh Kiai Wahid Hasyim, mungkin dia ditekan juga karena banyak KUA dari kiai maka sekarang yang jadi KUA harus dari lulusan sekolah. Akhirnya Kiai Wahid Hasyim memasarkan atau mengajak pesantren untuk ada sekolah umumnya. AlhamduliLlah waktu itu banyak yang menentang, namun di era-era setelahnya sudah tidak ada yang menentang lagi.

Sejarah Kiai-Santri Banyak Dihapuskan dalam Sejarah
Jadi saya ulangi lagi, inilah hasil perjuangan kiai dihapuskan dari sejarah. Ini adalah rekayasa dari Belanda yang licik itu. Walaupun Belanda memanjakan urusan ekonomi kepada umat Islam, tapi umat Islam tetap dibuat kalah oleh Cina. Yang diistimewakan tetap Cina. Tapi walaupun begitu yang kaya tadi masih bisa kaya. Luar biasa. Kalau muktamar NU zaman Belanda, Kiai Hasyim Asy’ari dan ketua PBNU dulu (Hasan Basri Gipo) kalau tidak salah dari Sulawesi, dia mukim di Surabaya lalu dijadikan ketua PBNU. Jadi dulu ketua PBNU itu dari orang biasa, bukan orang alim, doktor, atau profesor. Orang biasa namun kaya. Mbah Hasyim tinggal mengetuk rumah-rumah aghniya’, daerah Babat dulu andalannya. “Ji. Ape enek muktamar, Ji. Bantu piro?”
Jadi di belakang NU ada aghniya’, tapi zaman Jepang jadi berat. Tirakat. Tadi diceritakan banyak batalion dipimpin kiai, tapi beras rakyat diambil oleh jepang untuk makan tentaranya. Kita tidak makan apa-apa, tapi kok kuat keluar keramatnya kiai-kiai itu. Tadi keterangan pak Mansur, hanya punya sarung thok, tidak punya senjata maksudnya, tapi kalau sudah kepepet senjatanya keluar.
Jadi ini kalau kita sibuk dengan ilmu agama, murni liLlahi Ta’ala bukan karena PNS, kalau tidak bisa begitu maka paling tidak senang dan mengakui bahwa sistem salaf ini afdhal daripada sistem khalaf/kurikulum, InsyaAllah ada jiwa kesantrian. Kalau kita dianiaya PKI mau bangkit menyembelih kita, InsyaAllah mereka disembelih dulu sebelum mereka menyembelih. Allahumma Amin. Allahu Akbar. Ini Allahu Akbar-nya Bung Tomo. Allahu Akbar adalah kekuatan yang luar biasa. Kalau kita niat ikhlas li i’lai KalimatiLlah, ini akan mengeluarkan karamah-karamah Ilahiyah. Allahu Akbar ini bukan untuk mencari dunia, tapi mencari akhirat. Dan sebetulnya secara strategi politik, kalau kiai-kiai tadi masuk ke Jakarta jadi pemimpin, kata abah saya nukil dari abahnya yakni Kiai Zubair, tentu TNI dikuasai santri. Tapi banyak juga kiai-kiai batalion yang tidak dimasukkan ke TNI. Mbah saya memimpin batalion seratus prajurit, semuanya dimasukkan ke TNI tp beliau tidak masuk. Alasannya mungkin karena ada kesibukan pesantren karena mbah saya alim.

Mbah Zubair sebagai Pimpinan Militer

Mbah saya pernah dicurigai ikut DI/TII karena dalam sejarahnya mbah saya pernah memimpin batalion. Oleh pemerintahan Soekarno dicurigai, lalu RPKAD disuruh ke Sarang. Waktu itu Sarang belum besar. RPKAD bersembunyi di balik rumput. Akhirnya waktu subuh ketika Mbah Ahmad ngimami, dia masuk ke rumah Mbah Mad dan Mbah Zubair untuk menyelidiki apakah ada senjata atau mungkin data bahwa beliau masuk DI/TII. Tapi AlhamduliLlah tidak ada, tidak ditemukan. Waktu itu Mbah Zubair sedang muktamar di Surabaya. Yang bercerita ini adalah guru saya namanya Haris Thahar, diceritai sama warganya. Ada santri yang hasud dengan Mbah Zubair lalu melaporkan bahwa Mbah Zubair memiliki senjata. Mereka tidak berani ketika Mbah Zubair di rumah, entah karena apa. Beraninya ketika Mbah Zubair ke Surabaya ikut muktamar. Tapi AlhamduliLlah tidak ditemukan.
Jadi karena beliau memimpin batalion dianggap bahaya oleh zaman Soekarno. Jadi mereka tidak mau dan takut dengan hukum Islam. “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu yang penting punya tuhan, tidak ada agama apalagi tauhid La Ilaha IllaLlah. Tadi dibela bahwa itu Pancasila sama dengan Al-Quran, surah al-Baqarah dan Ali Imran. Kata orang sekarang Al-Quran banyak matsal-nya atau yang radikal bilang banyak fiksinya. Na’udzubiLlah min dzalika. Yang jelas mereka tidak berani dengan hukum Islam, takut nanti kalau Islam berjalan yang menguasai santri. Padahal yang santri senang sarungan liLlahi Ta’ala. Dulu dasi saja diharamkan.
Ketika ada majelis Konstituante, perjuangan ulama dan mujahid kita untuk penegakan Syari’ah Islam sudah sangat-sangat maksimal. Sampai Soekarno dituntut terus soal Tujuh Kalimat yang dihapus, lalu akhirnya dia bikin majelis Konstituante. Pada perdebatan ini yang pro-Islam akan menang atau sudah menang dengan argumen-argumen bukan dengan golok atau senjata karena kita mayoritas Islam, jika ingin kuat negaranya harus berdasar Islam dan kita umat Islam memang diwajibkan berdasar Islam. Sudah hampir menang atau malah sudah menang, majelis Konstutiante dibubarkan oleh Soekarno dengan berdalih Sila Pertama menjiwai seluruh sila-sila yang lain. Kalau yang tidak paham politik ya enak aja. “Wah, bagus ini.” Tapi tujuannya adalah untuk menghalang-halangi Syari’ah Islam. Terus akhirnya ada Pemilu tapi ditunda-tunda, itu sebenarnya untuk membesarkan partai PNI dan PKI serta memecah-belah Masyumi. Setelah dipecah belah akhirnya NU keluar dari Masyumi.

Isyarah Tatal Masjid Demak: Umat Islam Harus Bersatu!

Tadi sudah disinggung bahwa menurut isyarat tatal di Masjid Demak kita harus bersama-sama umat Islam dan kelompok-kelompok Islam jika ingin berjaya. Seperti itu isyarahnya. Tadi hal ini dibilang -WaLlahu A’lam- klenik sama pak protokol atau mitos. Memang begitu, Indonesia ini memang penuh dengan mitos, entah benar atau tidak WaLlahu A’lam bi al-shawab. Negeri kita dulu dijuluki negeri dongeng, negeri khayalan, dst. Orang Arab ketika melanggar aturan negaranya ditakut-takuti, “Kamu kalau melanggar negara kami akan saya buang ke Wakwak.” Sekarang jadi pulau Fakfak di Papua. Sudah terkenal negeri ini. Makanya ada yang bilang masuknya Islam di Indonesia pada zaman Khalifah Muawiyah, ada yang bilang Khalifah Utsman, ada yang bilang zaman Rasulullah. Ini masuknya Islam lho, artinya masuknya orang Islam, entah sudah mengislamkan atau belum.

Merah Putih dan Istana Hambra

Saya dapat ilmu waktu acara DEMU di MGS, saya bilang bahwa masjid Nabawi itu asalnya tidak ada kayu-kayunya yang besar dan tidak beratap, kemudian zaman Utsman diperbesar dan diberi atap-atap dari kayu. Kok sampai sekarang masih bagus, berarti itu ikayu jati. Kayu jati kebanyakan dari Jawa. Mungkin di Pasai atau Sumatra sudah banyak orang Islam, mereka mengimpor kayu jati dibawa ke Madinah dan jadilah masjid Nabawi yang gagah itu. Kayu jati harus diplitur, dan plitur yang baik berwarna merah. Tadi dibilang ada merah putih katanya. Kalau saya tidak begitu suka merah, mungkin masalahnya karena untuk mlitur agar awet harus warna merah. WaLlahu A’lam.
Saya pernah ke Spanyol bersama Mbah Moen, ada namanya Qashr al-Hamra’. Istana Hambra kalau bahasa sekarang, orang Barat dan Indonesia bacanya Hambra. Di bangunan itu memang banyak warna merah. Dan, seperti di Syiria warna tiang-tiang masjid berwarna hitam putih. Di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi motif itu masih ada. Ini sisa-sisa Daulah Umawiyah. Tapi di Qasr al-Hamra’ motifnya memang merah dan putih. Saya tidak tahu rahasianya apa, WaLlahu A’lam. Walaupun saya tidak begitu suka warna merah, tapi merah ada di Daulah Andalusia. Tp yg saya ketahui di masjidil haram itu putih hitam. Benderanya nabi kebanyakan hitam.
Islam masuk ke Indonesia itu sudah lama, tapi yang sulit diislamkan memang Jawa. kalau Sulawesi sudah lama, di Kalimantan juga sudah lama. Yang sulit itu di Jawa. Islam agak baik harus mengerahkan Walisongo yang sakti-sakti, baru bisa berdiri negara Demak. Asalnya kerajaannya bukan Demak tapi Giri, namun baru empat puluh hari lalu diserahkan kepada Raden Fatah di kerajaaan Demak. Akan tetapi anak turun Raden Fatah dicabik-cabik oleh Syi’ah, Siti Jenar, atau Kebatinan. Akhirnya berdiri kerajaan Pajang. Pajang masih agak seperti Raden Fatah mangkel lalu akhirnya jadi kerajaan Mataram. Mataram masih bagus ada Sultan Agung, tapi anak cucunya diobrak-abrik agar senang anti-ulama dan anti-kiai. Amangkurat II menyembelih ulama sebanyak dua puluh lima ribu orang di alun-alun Solo.
Disini sudah ada sejarahnya bahwa Sayyid Sulaiman dipanggil oleh Raja Solo entah siapa untuk diangkat menjadi qadli kemudian sampai di Mojoagung dipundhut Allah Ta’ala. Dia sudah berkata, “Kalau diangkat qadli bakal jadi baik ya sampai Solo, kalau jadi buruk maka belum sampai Solo sudah mati.” Akhirnya nadzar Sayyid Sulaiman itu terjadi sehingga pondok pesantren menjadi besar.

Keikutsertaan Santri dalam Tathbiq Syari’ah

Kita tetap tidak boleh putus asa akan adanya Tathbiq al-Syari’ah, tapi dalam penerapan Syari’ah ini semoga kiai lan sampeyan-sampeyan santri bisa ikut, syukur bisa memimpin. Allahumma Amin. Jangan sampai penerapan Syari’ah ini dikuasai oleh radikalis, Wahabi, dan modern. Tapi kita juga jangan anti modern. Artinya jangan anti orang akademis. Mereka juga memiliki Ghirah Islamiyah besar. kalau kampus-kampus sekarang tidak ada orang-orang yang memiliki Ghirah Islamiyah, maka kita sudah habis. Untungnya dari sisa-sisa keturunan entah dari Sunan Cirebon (Gunung Jati) ada yang jadi kiai, ada juga yang jadi akademis. Mungkin Ustadz Mansur itu termasuk mereka, WaLlahu A’lam. Ini artinya kita masih menemukan sambungan-sambungan dengan ulama-ulama kita. Mereka menghargai kita dengan mengatakan kiai itu pejuang Indonesia Raya yang paling ikhlas. Dan AlhamduliLlah, sebagian dari kalangan priyayi dan akademis menurut sejarah tersebut. AlhamduliLlah.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga ada manfaatnya. Semoga cita-ita dari ahbabuna shalihun pendidikan pesantren salaf tetap berjaya dan tetap dicintai walaupun tidak bisa penuh, dan cita-cita Tujuh Kalimat yang dihapus oleh Pak Karno dan Hatta tetap berjalan walaupun keadannya seperti ini. InnaLlah ‘ala kulli syaiin Qadir. Kala kita mau disembelih, kitalah yag akan menyembelih.”

“Urusan Politik Ikutlah Masyumi, Urusan Agama Ikutlah NU!”

Setelah pemaparan beliau selesai diatas, kemudian beliau menambahi, “KH Hasyim Asy’ari dalam catatan sebagian santri, yang saya tahu dari Kiai Thahir Kajen, dicatat bahwa urusan partai (politik) ikutlah Masyumi, dan urusan keagamaan, bahtsul masail, dan hukum-hukum ikutlah NU. Ini dicatat oleh Kiai Thahir almarhum. Dulu begitu, tapi lama-lama Masyumi dipecah-belah kemudian sampai sekarang kaum Muslimin dipecah-belah, yang terjadi sekarang adalah munculnya liberal-liberal itu.”
Selanjutnya, ketika ditanya oleh moderator tentang partai mana yang paling ideal untuk dipilih, maka Abah Najih menjawab, “Saya sukar menjawabnya, karena nanti kalau saya menjawab A nanti saya dianggap Muhammadiyah, radikal, atau apa, kalau saya membela yang santri juga banyak liberal padahal dari awal saya sudah anti-liberal. Ya, cari-cari sendiri, lah. Pikir-pikir sendiri, dan rahasiakan ini. Strateginya harus matang. Yang penting tadi saya setuju tatal itu kita harus bersama, harus berkelompok.
Kita ada panglima atau tidak, yang penting kita punya Ghirah Islamiyah bagaimana kita eksis. Sekarang Islam pengen dihilangkan sama sekali khususnya santri. Asalnya orang Islam itu 98 % makanya dulu hampir menang di majelis Konstituante, terus menjadi 90% lalu sekarang jadi 80%. Ini rekayasa mereka supaya kita melempem dan patah semangat. Sekarang saya bangkitkan, jangan putus asa tapi tidak usah aneh-aneh. Yang penting tadi nyoblosnya yang pro-Islam. Kita susah tidak punya panglima, tapi kita seperti harus ikhlas. Justru dengan ikhlas InsyaAllah kita menang.”

Hinaan kepada Habaib: Ekspresi Sakit Hati Kaum Liberal

Setelah itu, menganggapi ucapan moderator bahwa Ghirah Islamiyah umat Islam Indonesia sekarang sangat lemah sekali sampai ada hinaan kepada habaib dituduh kluyar-kluyur oleh tokoh liberal, Abah Najih menanggapi, “Saya setuju sekali analisa ini. Tadi habaib dikatakan kluyar-kluyur dan guru Ibtidaiyah, itu sebenarnya merupakan ekspresi sakit hati mereka karena mereka ingin Ghirah Islamiyah ini habis sama sekali.
Yang bilang habaib dari Yaman kluyar-kluyur dan dianggap guru Ibtida’ itu mungkin dia pikir keanehan itu agar nilai rapornya bagus di mata zionis-salibis. Biar bisa jadi wakil presidennya Jokowi atau apa gitu. Dan, mulai presiden sekarang mungkin akan dimunculkan lagi orang yang kelihatannya beda, mungkin dulu panglima TNI. Sebenarnya itu sama dengan dia tapi kelihatannya saja beda, sama-sama dekat dengan Naga Sembilan.” Sontak tepuk tangan gemuruh dari para audien bergema di seluruh ruangan.
Acara daurah kebangsaan ini kemudian ditutup dengan pembacaan doa oleh Abah Najih dilanjutkan dengan pemberian cinderahati dari panitia kepada beliau.(*)